Suara.com - Publik belakangan masih terus memperbincangkan terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang bakal naik menjadi 12 persen. Pertamabahan itu bakal mulai dijalankan pada Januari 2025 mendatang.
Soal kenaikan PPN, warganet menyoroti pembayaran cashless atau non-tunai yang juga kemungkinan terdampak PPN.
"Rakyat disuruh beralih ke transaksi cashless, tapi transaksi digital dikenain naik pajak 12% juga. Jadi cuma buat barang mewahnya part mana? Kita balik ke sistem barter aja kali?" komentar warganet.
"Ini biaya layanan yang dapet duitnya kan merchant QRIS ya, kenapa jadi konsumen yang bayar PPN-nya? Itu kan biaya service?? Harusnya itu pph merchant dong?" imbuh warganet lain.
Baca Juga: Kenaikan PPN 12 Persen, Rafathar Ikut Terdampak?
"Jadi yg namanya biaya layanan, ternyata jika transaksi melalui e-commerce atau app ojol. Saat ini biaya layanan sudah termasuk PPN 11 persen, tahun depan 12 persen," timpal lainnya.
Melansir dari laman Portal Informasi Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan nomor 69/PMK.03/2022 tentang PPh dan PPN atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial, PPN dikenakan bagi kegiatan layanan atau transaksi menggunakan uang elektronik, karena termasuk jasa kena pajak.
Perhitungannya, jika saldo di platform dompet digital ada Rp1 juta, maka tidak dikenai PPN. Namun, kalau ada transaksi atau pembayaran menggunakan saldo tersebut, maka akan dikenai pajak 11 persen yang bakal naik 12 persen.
PPN tersebut dikenakan untuk biaya layanan, misal Anda belanja sebesar Rp200.000 menggunakan saldo dompet digital atau uang elektronik. Kemudian ada biaya layanan sebesar Rp5.000 menyertainya, maka PPN 11 persennya diambil dari Rp5.000 yakni sebesar Rp550. Kemudian jika PPN naik menjadi 12 persen, maka menjadi Rp600.
Dalam PMK itu juga disebutkan yang tak dikenai pajak adalah uang yang ada di dompet digital tapi tidak digunakan untuk transaksi, adanya bonus poin, top-up point, reward point, dan loyalty point.