Suara.com - Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) adalah lembaga kemasyarakatan di Indonesia yang berfungsi untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.
RT adalah organisasi yang menghimpun 30-50 kepala keluarga (KK) dalam satu lingkungan, dibentuk melalui musyawarah warga setempat.
RW, di sisi lain, terdiri dari beberapa RT (biasanya 3-10 RT) dan bertugas sebagai penghubung antara RT dan pemerintah daerah. Keduanya berperan penting dalam menyampaikan aspirasi masyarakat dan melaksanakan program pemerintah di tingkat lokal.
Di Medan, keberadaan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) tidak ada, digantikan dengan kepala lingkungan (Kepling).
Salah satu alasan utama mengapa RT dan RW tidak berfungsi secara optimal di Medan adalah kurangnya peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang lembaga kemasyarakatan ini.
Meskipun terdapat undang-undang yang mendasari keberadaan RT dan RW, seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, implementasi di tingkat daerah sangat tergantung pada kebijakan lokal.
Di Sumatera Utara, termasuk Medan, masih ada kekurangan dalam hal pengesahan Perda yang mendukung fungsi RT dan RW.
Akhirnya, ketidakpastian mengenai status hukum dan legitimasi RT dan RW di Medan juga berkontribusi pada masalah ini. Tanpa adanya pengakuan resmi dari pemerintah daerah, banyak individu enggan untuk berpartisipasi atau bahkan mencalonkan diri sebagai ketua RT atau RW.
Secara keseluruhan, meskipun RT dan RW memiliki potensi untuk berfungsi sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat, berbagai kendala administratif, kurangnya regulasi yang jelas, serta minimnya kesadaran masyarakat menjadi faktor utama mengapa lembaga ini tidak dapat beroperasi secara efektif di Medan.