Ditambah, kiai yang kedonyan, cinta dunia. Klop. Yang kaya, tahunya memuliakan kiai dengan uang, kiainya juga senang. Musibah. Terutama di Jawa Timur.
Makanya saat saya diundang di Tebu Ireng, Pondok Syaikhona Kholil, Termas … Saya mau asal, disediakan naskahnya Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Kholil, Syaikh Mahfudz Termas.
Ya, saya ngajinya kitab para pendiri pesantren itu. Bukan ngaji Gus Baha tapi ngaji Mbah Hasyim Asy’ari, dll.
Ini kan musibah. Selama ini dzurriyah, para cucu tidak peduli dengan naskah pendiri. Padahal ada ahli filologi, pengumpul naskah. Naskah masyayikh kita ada di luar negeri, cucunya ga punya.
Saya punya naskahnya Syaikh Mahfudz yang tidak ada di Termas. Saya dikasih Mbah Moen. Akhirnya, para cucu ngaji ke sini.
Coba, Sirojut Tholibin di cetak di mana-mana, termasuk Yaman. Namun, kita tahu nasibnya di Jampes.
Kiai-kiai NU itu sudah alim. Ngerti hukum secara tafsil, kok malah hobi bicara yang mujmal. Ini kan sudah mau pinter, disuruh goblok lagi.
Anda itu ngaji, sampai buka kamus, meneliti tiap kata, harusnya ngajarnya seperti itu. Agar tetap alim.
Ada kiai yang sehari manggung 3 kali. Padahal, pasti dia tidak paham problem dakwah di setiap tempat itu. Dia tidak tahu objeknya, tidak tahu obatnya. Pasti bicaranya standar, itu-itu saja, yang penting lucu dan menarik. Mana ada waktu untuk belajar lebih dalam?
Baca Juga: Rekam Jejak Islah Bahrawi, Tokoh NU yang Skakmat Gus Miftah Soal Ilmu Ceramah
Akhirnya ada orang ceramah ditambahi musik macam-macam. Karena dia tidak alim. Tidak terkontrol, yang penting menarik.