Suara.com - Tulisan mengenai dakwah Gus Baha mengkritik orang-orang Nahdlatul Ulama (NU) belakangan marak beredar di sosial media.
Berawal dari sebuah tulisan seorang pengguna Facebook Samsul Arifin, rangkuman pengajian yang diduga disampaikan Gus Baha kemudian menyebar luas.
Dalam rangkuman itu, tercantum bahwa pengasuh Pondok Pesantren LP3IA Narukan, Rembang, Jawa Tengah itu menyoroti soal pengajian yang digelar oleh orang kaya sehingga membuat para kiai harus menurutinya.
"NU itu terlalu banyak pengajian umum. Tradisi ngaji (kitab) mulai hilang. Itu lampu merah. Orang kaya suka ulama. Suka kiai. Tapi maunya ngatur ulama, tidak mau diatur ulama.
Baca Juga: Rekam Jejak Islah Bahrawi, Tokoh NU yang Skakmat Gus Miftah Soal Ilmu Ceramah
Saya ga mau ngaji yang ribet itu. Harus pasang panggung, sound system, yang penting bupati datang. Ribet," demikian bunyi paragraf awal rangkuman tersebut.
Berikut isi lengkap tulisan yang diduga merupakan oto-kritik Gus Baha untuk orang-orang NU.
Mereka habis 50 juta, 100 juta tidak masalah. Tapi sesuai mau mereka, yang datang jamaahnya banyak. Coba, kalo nuruti maunya kiai, ulama, ngajinya menganalisa kitab, uangnya buat mencetak naskah, pasti tidak mau.
Saya ingin kebesaran ulama itu kembali, yaitu bisa mengatur orang kaya. Bukan seperti sekarang, diatur orang kaya.
Banyak yang datang minta pengajian umun, bawa alphard, saya jawab kalo mau ngaji datang ke sini saja. Kalo kiai diatur-atur, kan ribet.
Baca Juga: Pesan Menohok Quraish Shihab Imbas Tabiat Gus Miftah semakin Kontroversial
Bukan saya anti. Dan itu perlu. Tapi sudah over. Tapi tradisi ngaji yang sebenarnya, yang jadi standar NU, sudah mulai ditinggalkan.
Ditambah, kiai yang kedonyan, cinta dunia. Klop. Yang kaya, tahunya memuliakan kiai dengan uang, kiainya juga senang. Musibah. Terutama di Jawa Timur.
Makanya saat saya diundang di Tebu Ireng, Pondok Syaikhona Kholil, Termas … Saya mau asal, disediakan naskahnya Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Kholil, Syaikh Mahfudz Termas.
Ya, saya ngajinya kitab para pendiri pesantren itu. Bukan ngaji Gus Baha tapi ngaji Mbah Hasyim Asy’ari, dll.
Ini kan musibah. Selama ini dzurriyah, para cucu tidak peduli dengan naskah pendiri. Padahal ada ahli filologi, pengumpul naskah. Naskah masyayikh kita ada di luar negeri, cucunya ga punya.
Saya punya naskahnya Syaikh Mahfudz yang tidak ada di Termas. Saya dikasih Mbah Moen. Akhirnya, para cucu ngaji ke sini.
Coba, Sirojut Tholibin di cetak di mana-mana, termasuk Yaman. Namun, kita tahu nasibnya di Jampes.
Kiai-kiai NU itu sudah alim. Ngerti hukum secara tafsil, kok malah hobi bicara yang mujmal. Ini kan sudah mau pinter, disuruh goblok lagi.
Anda itu ngaji, sampai buka kamus, meneliti tiap kata, harusnya ngajarnya seperti itu. Agar tetap alim.
Ada kiai yang sehari manggung 3 kali. Padahal, pasti dia tidak paham problem dakwah di setiap tempat itu. Dia tidak tahu objeknya, tidak tahu obatnya. Pasti bicaranya standar, itu-itu saja, yang penting lucu dan menarik. Mana ada waktu untuk belajar lebih dalam?
Akhirnya ada orang ceramah ditambahi musik macam-macam. Karena dia tidak alim. Tidak terkontrol, yang penting menarik.
Akhirnya ya goblok beneran. Pondok NU juga ikut-ikutan tren. Bikin acara, ya pengajian umum. Yang datang banyak.
Masak, pondok NU mengundang Ustad/Kiai yg tidak jelas. Karena ikut tren tadi. Tidak tahu, keduanya itu kategorinya apa, detailnya mereka. Musibah lagi, warga NU membaca tulisan Gus Ulil, Nusron bahkan Abu Janda, tapi tidak tahu naskahnya Mbah Hasyim Asy’ari.
Saya hanya ingin, tradisi ilmiah di NU itu kembali. Kiai tidak boleh diatur orang kaya. Jika tidak, NU bisa habis (orang alimnya). Saya di NU ditugasi ini, bukan yang lain. Maka, saat saya di Lirboyo, saya bilang ‘Gus Kafa, saya lebih senang disambut 4 santri yang benar-benar niat ngaji daripada banyak santri yang niatnya tidak jelas’. Kemudian, setiap kali saya ke Lirboyo, anak, mantu, cucu dikumpulkan dulu ngaji sama saya.
Jika, kita 5 tahun saja memulai. NU akan hebat. Jika bukan anak kita yang jadi alim, cucu kita akan jadi ulama. Itulah NU. NU itu harusnya melahirkan kiai – allamah, bukan kiai-mubaligh seperti sekarang. Dan saya melihat sudah lampu merah. Padahal di zaman kakek saya, bahasa Arab itu seperti bahasa Jawa. Saya punya tulisannya Mbah Hasyim Asy’ari yang surat-suratan dengan kakek saya dengan bahasa Arab.
Keilmuan, kealiman ini jangan habis. Dulu para pendiri, kakek kita, allamah, punya naskah. Jika kita terus begini, bisa habis," demikian isi lengkap rangkuman tersebut.
Belum diketahui secara pasti di mana Gus Baha menyampaikan ceramah ini. Namun, ada satu rekaman ceramah Gus Baha yang pernah menyenggol soal tradisi pengajian yang digelar dalam konteks politik.
"Tahlil zaman sekarang itu sudah kalah sama hukum adat. Inilah yang menjerumuskan. Tahu-tahu ada istighosah kubro (besar-besaran). Kerennya kalau di lapangan, kerennya jika Pangdam datang, Bupati datang. Ukuran suksesnya kalau Gubernur juga hadir. Emang nggak jelek, tapi ini berarti minimal sekali," kata Gus Baha.
Tak sampai di situ, juga menyampaikan soal pembacaan wirid secara bersama-sama kerap melenceng niatnya karena digelar berdasarkan sebuah acara.
"Itu ada wiridan ikut organisasi. Kiai kok manut organisasi. Wiridan di lapangan. Misal Ansor menggelar wiridan bersama mengundang Bupati. Masanya Pilkada, kepengen istighosah menarik simpati mengundang kiai-kiai, itu kan wiridan ngacara. Kita nggak usah ngikut-ikut. Kalau diundang ya datang tapi nggak usah menikmati. Wiridan itu bentuk ketertarikan kepada Tuhan, kangen kepada Allah. Bukan diorgasnisasi oleh pihak manapun," jelas Gus Baha.