Suara.com - Seiring waktu, gaya hidup individu terus bertransformasi. Seperti gaya hidup hedonisme yang cenderung terjadi di kalangan Gen Z, generasi yang berusia 12-27 tahun pada 2024 ini. Kecenderungan ini dilihat dari kalangan Gen Z yang cukup konsumtif, hal ini sejalan dengan fenomena hedonisme yang menjadikan kesenangan serta kepuasan diri sebagai tujuan Utama hidup.
Hedonisme kerap dikaitkan dengan pencarian kesenangan sebagai tujuan hidup. Segala sesuatu yang menimbulkan kesedihan atau ketidaknyamanan dianggap buruk.
Sebagai gaya hidup, hedonisme terlihat dalam perilaku generasi muda yang menghabiskan waktu untuk berbelanja, jalan-jalan, atau menikmati hiburan mewah. Aktivitas ini sering berpusat pada konsumsi, penampilan, dan gaya hidup glamor, yang kemudian dipamerkan melalui media sosial.
Media sosial, mulai dari era Friendster hingga platform global seperti Facebook, Instagram, X (sebelumnya Twitter), dan TikTok, menjadi panggung utama untuk menunjukkan gaya hidup tersebut. Kehadirannya semakin memperkuat fenomena hedonisme di kalangan anak muda.
Baca Juga: Nyaris Tiada Harapan: Potensi Hilangnya Kehangatan dalam Interaksi Sosial Gen Z
Riset Good Stats menunjukkan bahwa per Januari 2024, 5,04 miliar orang, atau 62,3% populasi dunia, menggunakan media sosial. Angka ini meningkat 75 juta pengguna (1,5%) dibandingkan kuartal 4 tahun 2023.
Menurut laporan We Are Social, Facebook memimpin sebagai platform terpopuler dengan 3,05 miliar pengguna aktif, diikuti oleh YouTube (2,49 miliar), WhatsApp, dan Instagram (masing-masing 2 miliar). TikTok, meski berada di peringkat kelima dengan 1,56 miliar pengguna aktif, terus menjadi favorit terutama di kalangan anak muda, termasuk di Indonesia (Yonatan, 2024).
Hedonisme, yang berfokus pada pencarian kesenangan materi, menjadi isu relevan di masyarakat modern, khususnya di kalangan Gen Z. Prinsipnya menolak kerja keras sebagai sesuatu yang melelahkan dan berfokus pada kenikmatan hidup. Salah satu manifestasi ekstrem gaya hidup ini adalah fenomena Sugar Dating.
Menurut Septiana (2020), Sugar Dating melibatkan hubungan antara Sugar Baby—remaja atau dewasa muda yang menawarkan kencan hingga layanan seksual—dengan Sugar Daddy, pria dewasa yang memberikan dukungan finansial. Hubungan ini berlanjut selama kebutuhan materi sang Sugar Baby terpenuhi (Winawati & Mubarokah, 2022).
Fenomena ini marak di kota-kota besar di Indonesia, didorong oleh tuntutan ekonomi dan gaya hidup mewah. Banyak individu melihat Sugar Dating sebagai jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan, mencerminkan sisi gelap hedonisme di masyarakat urban.
Baca Juga: 15 Ucapan Hari Ayah Lintas Generasi: Dari Milenial, Gen Z, hingga Gen Alpha
Kemewahan yang ditampilkan ini disebut gaya hidup hedonisme yang ditampilkan untuk membantu menunjang persepsi masyarakat akan kehidupan seseorang, biasanya orang yang sering memposting suatu hal yang terlihat mewah akan memberikan pandangan bahwa orang tersebut makmur dan bahagia dalam hidupnya dari segi materiil. Hal ini juga dapat menarik para Sugar Daddy yang memiliki prinsip dominan sehingga merasa ingin menyokong gaya hidup Sugar Baby tersebut.
Kondisi ini menjadi mengkhawatirkan karena berdasarkan penelitian yang dilakukan situs resmi Seeking Arrangement yang dirilis langsung dalam situsnya menunjukkan bahwa Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan jumlah Sugar Daddy terbanyak di Asia Tenggara.
Survei menunjukan, 10 negara dengan Sugar Daddy terbanyak di Asia ditempati oleh India sebagai peringkat pertama dengan angka 338.000, Indonesia di peringkat kedua yakni 60.250, disusul oleh Malaysia 42.500, Jepang 32.500, Hong Kong 28.600, Taiwan 27.300, Vietnam 12.000, Korea Selatan 7.000, Sri Lanka 5.000 dan terakhir Kamboja 3.500. Mashable SEA juga mengungkapkan dalam risetnya pada tahun 2021 jumlah Sugar Daddy di Indonesia mencapai 60.250, yang merupakan jumlah tertinggi di Asia Tenggara (Ridhotulloh, 2023).
Indonesia pun merupakan Negara tertinggi kedua dengan jumlah Sugar Baby mencapai 10.200 orang, dan kebanyakan berasal dari Jakarta. Ini disebabkan oleh fakta bahwa Jakarta adalah kota dengan tingkat urbanisasi tertinggi.
Hasil penelitian Seeking Arrangement, menunjukkan bahwa pendidikan juga mempengaruhi cara seseorang berpikir tentang memutuskan untuk menjadi Sugar Baby. 12 persen orang di antara usia 25 dan 34 tahun memiliki gelar sarjana, lalu 56% nyatanya belum memiliki kesempatan untuk belajar hingga perguruan tinggi bagi penduduk perkotaan di Indonesia yang berkembang pesat.
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya yang telah dilakukan, gaya hidup yang terlihat dalam sosial media dapat menjadi faktor pemicu bagi para seorang Sugar Baby. Sejalan dengan hasil penelitian Winawati & Mubarokah (2022) sebagian besar dari subjek penelitiannya menginginkan kehidupan yang lebih baik karena mayoritas subjek memiliki kondisi ekonomi yang sulit, sehingga dengan memiliki media sosial, memudahkan untuk mendapatkan Sugar Daddy.
Penelitian lainnya, menunjukan bahwa aspek yang paling berpengaruh dalam gaya hidup hedonisme subjek adalah aktivitas dan minat (Septiana, 2020). Terdapat faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi seseorang menjadi Sugar Baby, secara spesifik faktor eksternal yang paling berpengaruh adalah kelompok referensi, motif, keluarga dan kelas sosial.
Sedangkan faktor internal antara lain seperti hasrat untuk memenuhi gaya hidup, perasaan nyaman dan hidup menjadi lebih mudah. Meskipun fenomena hedonisme khususnya di kalangan mahasiswi yang menjadi Sugar Baby semakin mencuat, studi literatur yang secara khusus memahami pengalaman mahasiswi dalam konteks ini masih terbatas. Banyak studi literatur yang cenderung lebih fokus pada deskripsi fenomena daripada memahami sudut pandang mahasiswi yang terlibat secara mendalam padahal sebenarnya hal ini sangat beririsan dengan Psikologi Komunikasi.
Hal tersebut selaras dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Amelia & Ayuningtyas (2024), hasil penelitiannya menyebutkan bahwa ada motivasi intrinsik dan ekstrinsik yang menjadi motivasi utama mahasiswi memilih gaya hidup hedonisme. Dalam penelitian ini juga didapatkan bentuk gaya hidup hedonistik yang dilakukan oleh para informan, yaitu seperti menginginkan belanja barang branded, liburan keluar negeri dan makan atau hangout di tempat-tempat yang fancy.
Motivasi intrinsik, atau dari dalam diri, adalah dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang yang tidak dipengaruhi oleh faktor luar. Ini mencakup kepuasan pribadi, kegembiraan, dan keinginan untuk melakukan aktivitas atau kegiatan tertentu. Keinginan ini biasanya untuk mendapatkan pengalaman baru, kesenangan, atau mengeksplorasi gaya hidup.
Motivasi ekstrinsik, atau dari luar diri, disebabkan oleh dorongan dari luar diri individu, seperti ajakan, suruhan, atau bahkan paksaan dari orang lain, yang mendorong individu untuk melakukan sesuatu (Shaleh & Wahab, 2004). Motivasi yang berasal dari sumber luar seperti penghargaan, hadiah, gaya hidup mewah, dan seringkali keinginan untuk mendapatkan pengakuan sosial.
Penulis: Associate Professor bidang Ilmu Komunikasi/Dosen Program Studi S2 Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Fitria Ayuningtyas
Catatan: Opini tersebut di atas sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis, redaksi hanya melakukan editing seperlunya.