Suara.com - Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan I Wayan Agus Suartama, atau Agus Buntung, menjadi perhatian luas karena pola manipulasi emosi yang digunakan terhadap korban. Dengan statusnya sebagai penyandang disabilitas, Agus memanfaatkan kepercayaan dan kelemahan psikologis korbannya untuk melancarkan aksi pelecehan seksual.
Dalam dunia psikologi, menyalahgunakan kepercayaan dan kelemahan korban disebut sebagai manipulasi emosi. Apa itu dan bagaimana modusnya sehingga Agus Buntung bisa berbuat kejahatan dengan banyak korban?
Menurut pihak kepolisian, Agus menggunakan ancaman psikologis untuk menakuti korban agar mengikuti keinginannya. Ia sering kali mengancam akan mengungkapkan aib korban sebagai cara untuk memperkuat kontrol emosionalnya. Pola ini terbukti efektif, terutama terhadap korban anak-anak yang belum mampu membela diri atau memahami dampak jangka panjang dari tindakan tersebut.
Rekaman video dan suara yang menjadi bukti diungkapkan kepada publik, memperlihatkan betapa sistematisnya Agus memanipulasi emosi korbannya. Temuan ini memicu kemarahan masyarakat, yang menuntut proses hukum yang tegas terhadap pelaku.
Apa Itu Manipulasi Emosi?
Melansir laman Halodoc, Sabtu (14/12/2024), Manipulasi emosi sering kali sulit dikenali karena sifatnya yang tidak terlihat secara fisik, tetapi dampaknya dapat sangat merusak. Agus diduga menggunakan beberapa taktik berikut:
Memanfaatkan Rasa Tidak Aman Korban
Pelaku kerap menggunakan kelemahan atau ketakutan korban untuk membuat mereka merasa tidak berdaya. Misalnya, ia mengancam akan mengungkapkan rahasia atau aib korban untuk memaksa mereka tunduk.
Gaslighting: Meragukan Penilaian Diri Korban
Baca Juga: Aksi Pelecehan Seksual Agus 'Buntung' Noda Hitam Inklusi Disabilitas
Dengan mengatakan hal-hal seperti "Itu hanya perasaanmu" atau "Kamu salah paham," pelaku membuat korban meragukan kenyataan yang mereka alami. Teknik ini mengaburkan batas antara kebenaran dan manipulasi, membuat korban merasa tidak yakin pada diri mereka sendiri.
Isolasi Sosial
Agus diduga berupaya menjauhkan korban dari orang-orang yang dapat memberikan dukungan emosional. Dengan mengontrol lingkungan sosial korban, pelaku memastikan bahwa korban bergantung sepenuhnya pada dirinya.
Playing Victim
Pelaku kerap membalikkan situasi dengan memainkan peran sebagai korban. Hal ini membuat korban merasa bersalah dan akhirnya meminta maaf, meskipun mereka tidak melakukan kesalahan.
Dampak Psikologis pada Korban
Manipulasi emosi seperti yang dilakukan Agus memiliki efek jangka panjang yang serius pada korban, terutama anak-anak. Dampaknya meliputi:
- Harga Diri yang Rendah: Korban merasa tidak berharga akibat terus-menerus direndahkan.
- Trauma Jangka Panjang: Ketakutan, kecemasan, dan depresi dapat menjadi bagian dari hidup korban.
- Ketergantungan Emosional: Korban mungkin sulit keluar dari hubungan tidak sehat karena sudah kehilangan rasa percaya diri.
Menurut studi tahun 2013, pelecehan emosional sama merusaknya dengan pelecehan fisik. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami tanda-tanda manipulasi emosi agar dapat membantu korban dan mencegah kejadian serupa.
Proses Hukum dan Perlindungan Korban
Polda NTB telah berkomitmen untuk menangani kasus ini secara transparan. Pemeriksaan menyeluruh, termasuk rekonstruksi peristiwa, terus dilakukan untuk memastikan keadilan bagi para korban. Jumlah laporan baru dari korban yang berani melapor terus meningkat, menunjukkan pentingnya lingkungan yang mendukung untuk para penyintas.
Meski Agus adalah penyandang disabilitas, status tersebut tidak menjadi alasan untuk menghindari tanggung jawab hukum. Penegakan hukum tetap berjalan dengan memperhatikan hak-hak pelaku, tetapi prioritas utama tetap pada keadilan bagi korban.