Suara.com - Masalah hinaan Gus Miftah kepada penjual es teh asongan di pengajiannya menuai banyak reaksi, tak terkecuali dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dilihat di tayangan tvOneNews, Wakil Sekretaris Komisi Dakwah MUI Pusat, KH. Nur Hayyid, S.Ag, sempat menyayangkan blunder pendakwah bernama Miftah Maulana Habiburrahman tersebut.
"Beliau sudah menjadi wasilah turunnya hidayah Allah, sehingga beberapa saudara kita menjadi mualaf, itu tiba-tiba hilang karena kesalahan ini. Kita harus fair," terang Gus Hayyid pada Rabu (11/12/2024).
Lantas, seperti apa hukum menyampaikan guyonan dalam dakwah sebagaimana yang dilakukan Miftah?
Baca Juga: Dilakukan Istri Gus Miftah saat Ulang Tahun, Bolehkah Tiup Lilin dalam Islam?
"Guyonan dalam berdakwah adalah bagian dari ice breaking sebenarnya, bagian dari memecah kebuntuan serta kejenuhan dari jemaah," jelasnya.
Bila jemaah tak lagi dalam kondisi jenuh, tentu isi ceramah yang disampaikan ulama dapat lebih mudah diterima. Dalam hal ini, berarti dakwah yang disampaikan oleh Miftah.
"Tujuan dakwah yang pokok bukan guyonannya, tapi pesan-pesan agama pesan-pesan moral yang senantiasa disampaikan oleh da'i," kata Gus Hayyid.
"Ketika guyonan yang biasa dalam tradisi pengajian akbar, di kalangan Nahdlatul Ulama, itu menjadi ciri khas tersendiri kalau tidak sampai pada melecehkan orang lain, menghina orang lain, dan memberikan efek negatif," sambungnya.
Menurutnya, guyonan dalam pengajian adalah hal yang wajar selama tetap dalam rambu-rambu yang benar. "Guyonan maton bahasa Jawa-nya, guyonan yang punya relevansi dan korelasi dengan pesan-pesan dakwahnya," tuturnya.
"Tetapi ketika guyonannya sudah keluar dari pesan-pesan dakwah, tentu ini menjadi introspeksi bagi kita semua. Gus Miftah sudah menyadari ada guyonan yang menjadi ciri khas beliau, saya kira jangan sampai hilang, biarkan saja, tapi jangan cross border, jangan sampai melebihi batas yang dianggap sebagai penghinaan," tandas Gus Hayyid.