Waspada! Kreativitas Remaja Indonesia Menurun Drastis Gara-gara AI

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Selasa, 10 Desember 2024 | 14:04 WIB
Waspada! Kreativitas Remaja Indonesia Menurun Drastis Gara-gara AI
Ilustrasi AI (pixabay)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di tengah era yang didominasi oleh kecerdasan buatan (AI) dan tantangan global, keterampilan sosial-emosional (social emotional skills, SES) seperti kreativitas, empati, dan kegigihan menjadi semakin penting. Survei Global OECD tentang Keterampilan Sosial-Emosional menyoroti peran keterampilan ini dalam membentuk generasi muda yang mampu menghadapi ketidakpastian. Tahun ini, survei yang melibatkan 16 lokasi global, termasuk Helsinki (Finlandia) dan Delhi (India), memilih Kudus sebagai satu-satunya perwakilan Indonesia.

Peluncuran hasil survei di Kudus pada 7 Desember 2024 menjadi momen penting, menghadirkan lebih dari 300 pemangku kepentingan mulai dari guru hingga pembuat kebijakan. Dengan tema “Menuju Generasi Cerdas Sosial-Emosional: Temuan Global dan Praktik Baik Kudus untuk Indonesia”, acara ini menyoroti bagaimana pendidikan sosial-emosional dapat menjadi pilar keberhasilan di abad ke-21.

Penurunan Kreativitas Remaja: Tantangan Global

Salah satu temuan survei yang mengundang perhatian adalah penurunan signifikan kreativitas dan rasa ingin tahu pada siswa usia 15 tahun dibandingkan dengan usia 10 tahun. Tren ini sangat terlihat di negara-negara Asia, termasuk Indonesia.

Baca Juga: Kagama Rilis Buku Panduan AI, Wanti-wanti Bahaya Teknologi Kecerdasan Buatan

“Penurunan kreativitas dan rasa ingin tahu ini harus menjadi alarm bagi kita semua. Keterampilan ini sangat penting untuk memastikan generasi mendatang mampu menghadapi dunia yang penuh tantangan,” ungkap Andreas Schleicher, Direktur Pendidikan & Keterampilan OECD.

Kreativitas, yang kerap diasosiasikan dengan inovasi, sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan dunia modern. Sayangnya, banyak remaja yang kehilangan rasa ingin tahu dan kemampuan berpikir out-of-the-box seiring bertambahnya usia.

Di Kudus, meskipun tren ini juga ditemukan, pendekatan berbasis budaya lokal dan lingkungan pendidikan yang suportif dinilai dapat menjadi solusi untuk mengatasi penurunan tersebut.

Peran Guru: Kunci Pengembangan Sosial-Emosional

Survei OECD juga menyoroti pentingnya peran guru dalam membentuk keterampilan sosial-emosional siswa. Kudus, dengan komitmennya pada pendidikan yang mindful, meaningful, dan joyful, menunjukkan konsistensi dalam memberikan umpan balik positif kepada siswa.

Baca Juga: Lebih dari Sekadar Angka Kecerdasan, Apa Manfaat Mengetahui Nilai IQ?

“Siswa yang menerima lebih banyak umpan balik guru memiliki keterampilan sosial dan emosional yang lebih tinggi. Di Kudus, menerima umpan balik guru yang lebih sering paling erat kaitannya dengan motivasi berprestasi, rasa ingin tahu, keramahan, kepercayaan, dan toleransi,” tambah Andreas Schleicher.

Guru di Kudus tidak hanya mengajarkan keterampilan akademik, tetapi juga menjadikan sosial-emosional sebagai elemen penting dalam proses belajar. Mereka mengintegrasikan nilai-nilai ini ke dalam berbagai mata pelajaran, sehingga siswa tidak hanya tumbuh secara intelektual tetapi juga secara emosional.

Keterampilan Sosial-Emosional sebagai Fondasi Keberhasilan Holistik

Survei OECD membuktikan bahwa keterampilan sosial-emosional adalah prediktor penting bagi keberhasilan siswa secara holistik. Andreas Schleicher menjelaskan bahwa keterampilan ini tidak hanya membantu siswa meraih nilai akademik yang baik, tetapi juga membangun kesehatan mental dan kesejahteraan yang lebih baik.

“Keterampilan sosial emosional merupakan bekal penting yang membuat kita menjadi lebih ‘manusia’ di tengah gempuran teknologi, seperti artificial intelligence. Hal ini menjadi fondasi yang kokoh untuk berkontribusi pada dunia yang berkelanjutan,” ujarnya.

Selain itu, temuan survei menunjukkan bahwa sekolah-sekolah di Kudus berhasil menciptakan lingkungan belajar yang mendukung. Tingkat perundungan dilaporkan rendah dibandingkan beberapa lokasi lainnya, meskipun kekhawatiran akan normalisasi perilaku ini tetap ada.

Kudus: Model Praktik Baik untuk Indonesia

Sebagai satu-satunya kota perwakilan Indonesia dalam survei ini, Kudus membuktikan bahwa pendekatan berbasis budaya lokal dapat memberikan dampak positif. Pendidik di Kudus menunjukkan pola pikir yang konsisten tentang pentingnya keterampilan sosial-emosional bagi kehidupan siswa.

“Kudus telah menunjukkan komitmennya terhadap pembelajaran sosial-emosional melalui aneka program strategis, yang didukung oleh mitra seperti Djarum Foundation. Praktik-praktik baik ini perlu kita pertajam lagi sekaligus melakukan scale-up melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah ke sekolah-sekolah lain di seluruh daerah di Indonesia,” ujar Penjabat Bupati Kudus, Dr. Muhammad Hasan Chabibie.

Masa Depan Pendidikan yang Berakar pada Nilai Sosial-Emosional

Temuan survei ini memberikan pelajaran penting bagi sistem pendidikan Indonesia. Mengintegrasikan keterampilan sosial-emosional ke dalam kurikulum bukan lagi sekadar opsi, tetapi menjadi kebutuhan mendesak.

“Dari temuan ini, Kudus telah menorehkan awal yang bagus dan secara umum posisi kita di atas rata-rata. Pendidikan kita di Kudus masih lebih baik dari Singapura dan Jepang soal sosial emosional,” terang Ananto Kusuma Seta, Koordinator Nasional Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan.

Dengan menjadikan keterampilan sosial-emosional sebagai prioritas, Indonesia dapat mempersiapkan generasi yang lebih tangguh, kreatif, dan empatik, siap menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI