Suara.com - Viralnya peristiwa pendakwah Miftah Maulana yang mengolok-olok seorang penjual es teh membuat publik bertanya-tanya akan gelar 'Gus' yang tersemat. Pasalnya gelar itu diupamakan sebagai orang keturunan kiai atau pemuka agama.
Namun, ternyata dulu penyematan sebutan 'Gus' tak semarak seperti sekarang. Hanya orang-orang tertentu saja yang mendapat sebutan tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
"Dulu, sebutan 'Gus' terbatas jumlahnya, dilekatkan hanya pada sosok pilihan: Gus Dur, Gus Mus, dll.
Kini sebutan 'Gus' mengalami penurunan nilai karena dilekatkan ke banyak orang tanpa seleksi. Lha wong saya yang kayak gini juga sering dipanggil 'Gus' kok hahaha," ungkap Lukman melalui X yang dikutip Suara.com pada Rabu (4/12/2024).
Menurut Menag era pemerintahan awal Joko Widodo ini, penyematan gelar 'Gus' baiknya diperbaiki kembali. Pasalnya, 'Gus' erat kaitannya dengan keahlian di bidang agama yang sesuai sanad keilmuan.
Baca Juga: Ironi Miftah Maulana: Utusan Presiden Bidang Kerukunan Olok-olok Penjual Es, Gerindra Turun Tangan
"Agar sebutan 'Gus' tetap terjaga nilainya, bagaimana kalau mulai sekarang, terhadap mereka yang tak berintegritas, tak memiliki akhlak mulia, dan tak jelas sanad keilmuannya, tak usah lagi kita sapa dengan sebutan 'Gus'. Setuju?" usulnya.
Asal Muasal Penamaan Gus
Dalam beberapa dekade terakhir, panggilan atau nama "Gus" sangat identik dengan sosok pemuka agama Islam, penceramah atau anak kyai yang berdakwah.
Namun jauh sebelum nama Gus ini dipakai kalangan agama Islam dan berkembang di pesantren. Kalangan keraton lebih dulu memiliki sebagaimana dijelaskan dalam buku Baoesastra Djawa karya Poerwadarminta.
Sebutan Gus diambil dari kata Raden Bagus atau Den Bagus yang merupakan panggilan bagi anak-anak keturunan raja. Lambat laun, penyebutan nama Den Bagus ini bukan hanya terjadi di lingkungan kerajaan, namun juga kalangan priayi Jawa.
Baca Juga: Pandangan Ustaz Derry Sulaiman usai Gus Miftah Olok-olok Penjual Es Teh: Harus Hati-hati Bicara
Lalu ketika pesantren mulai berkembang di tanah Jawa, sebutan Gus ini pun kemudian digunakan juga oleh para pemimpin pesantren untuk memanggil putra mereka. Perlahan, panggilan Gus ini menjadi semacam gelar yang disematkan kepada anak-anak kiai khususnya di kultur NU.