Suara.com - "Aku tuh pengen nggak lama lagi anak-anak (di Indonesia) bisa ngomong 'aku pengen jadi aktor', dan nggak diketawain," begitulah harapan dari Ego Heriyanto, seorang aktor pendatang baru.
Sebenarnya Ego juga bukan aktor yang baru-baru amat di dunia akting. Kariernya sebagai pelakon di pertunjukan sudah ia rintis sejak kecil di Surabaya sebagai pemain teater. Namun, diakuinya tak mudah untuk mencapai impian menjadi seorang aktor profesional tanpa ditertawakan terlebih dahulu.
Kepada Suara.com, Ego bercerita dulu pernah ditertawakan ketika mengungkapkan cita-citanya ingin menjadi aktor. Saat kecil, Ego berpikir bahwa dirinya kurang rupawan sehingga orang banyak menertawakannya. Sementara itu di ingatannya, para pemeran film umumnya memang orang-orang yang punya tampang.
"Aku dulu diketawain, orang-orang banyak ngetawain. Dulu pas kecil mikirnya aku diketawain karena aku nggak cukup ganteng, sementara orang-orang di film itu ganteng semua," kisah Ego.
Baca Juga: JAFF Market: Pasar Film Pertama dan Terbesar di Indonesia Resmi Dibuka di Yogyakarta!
Namun, lambat laun pikiran itu berubah. Ego menyadari bahwa orang-orang menertawakan impiannya menjadi aktor bukan karena fisik, melainkan karena dinilai tidak realistis.
"Mereka pikir aku aneh, 'Wong kene kabeh do ngerti aktor ki dalane lewat endi' [kita semua tahu aktor itu harusnya lewat mana-red]. Makanya orang itu ketawa kayak ngomong 'mbok kamu tuh yang lebih realistis'," ujar Ego.
Pada akhirnya, akses belajar akting itu hanya didapatkan di lingkungan-lingkungan nonformal seperti sanggar, ekstrakurikuler sekolah, atau Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Paling kentara secara umum, pendidikan akting secara formal yang bisa didapatkan adalah di bangku kuliah, itupun di kampus-kampus seni.
Padahal, pendidikan tentang akting, perfilman dan teater adalah modal penting bagi seorang sineas. Hal ini pula yang disayangkan Ego terjadi di Indonesia.
"Kalau masuk industrinya menurutku memang susah. Tapi susah itu masalahnya bukan karena industrinya yang susah ditembus dan bukan soal aku siapa, tapi karena masalahnya sekolah akting nggak banyak. Di sekolah nggak ada pelajaran akting. Jarang ada akting di kurikulum pendidikan formal," lanjut Ego.
Baca Juga: Peran Penting Intimacy Coordinator: Seni, Profesionalisme & Batasan Aktor
Kurangnya sekolah akting bisa jadi salah satu faktor penyebab sumber daya manusia di industri film terbilang minim. Padahal industri film di Indonesia sedang bagus-bagusnya. Hal ini diamini Tia Hasibuan, Produser Come & See Pictures.
"Tantangannya SDM. Kalau industri kita mau maju kita butuh generasi baru," kata Tia di Yogyakarta, Senin (2/12/2024).
Netflix X JAFF: REAL LIFE Film Camp
Kondisi ini dibaca Netflix dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) dengan menggelar sebuah REEL LIFE Film Camp.
Program ini menawarkan enam jenis pelatihan profesi menarik didunia perfilman yang jarang dilirik yaitu Production, Production Finance, Actor, Post Production, Sound Design, dan Visual Effects.
Para peserta juga mendapat bimbingan langsung dari para mentor berpengalaman yang sudah terlibat dalam proyek-proyek internasional.
Beberapa mentor ternama antara lain Tia Hasibuan dari Come & See Pictures, Kevin Ryan Himawan dari Soda Machine Film, dan Wilza Lubis dari Body Body Pictures.
Program ini menerima lebih dari 3.000 pendaftar pada seleksi awal, namun hanya 600 yang berhasil lolos ke tahap berikutnya. Dari sana, 24 peserta terpilih untuk mengikuti pelatihan intensif bersama para mentor.
Direktur Kebijakan Publik Netflix untuk Asia Tenggara, Ruben Hattari memaparkan bahwa program ini menjadi wadah untuk regenerasi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam dunia perfilman tanah air.
Tidak hanya memberikan ruang kepada generasi baru untuk terjun dan berkecimpung dalam dunia film. Melalui program ini, para peserta turut dibekali dengan peningkatan kapasitas SDM itu sendiri.
"Dua-duanya harus jalan pararel. Ini momen (industri film Indonesia) yang sangat manis-manisnya, untuk kita menyikapi zaman yang sweet spot ini, mau enggak mau harus kita harus terus meningkatkan kapasitas," kata Ruben.
Sementara itu, Direktur Festival JAFF, Ifa Isfansyah, menuturkan program ini hanya satu dari sekian banyak program yang ada untuk terus menopang industri perfilman Indonesia. Apalagi tak dipungkiri masih ada banyak kebutuhan yang perlu untuk diisi.
"Ini memang program sangat ideal bagi JAFF, karena memang kita sangat concern bagaimana menemukan bakat-bakat baru, mengedukasi mereka dan mempertemukan dengan industri," ucap Ifa.
Selama ini, Ifa bilang, kehadiran SDM itu berjalan dengan mayoritas secara organik. Melalui berbagai festival dan berbagai pelatihan lain yang dilakukan secara formal melalui sekolah atau pendidikan dan pelatihan lain.
"Kalau bicara berkelanjutan tentu ada hubungan dengan banyak faktor, mulai mental, attitude, konsistensi. Tapi secara kompetensi mereka (para peserta) sangat siap dan dibutuhkan oleh industri ini," tandasnya.