Suara.com - Anggota Komisi III DPR RI dari PDIP, Deddy Sitorus, mewacanakan Polri kembali berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau TNI.
Usulan ini Deddy sampaikan usai pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 kemarin. Deddy menduga Polri sudah tidak netral dalam Pilkada Serentak 2024.
"Perlu diketahui bahwa kami sudah sedang mendalami kemungkinan untuk mendorong kembali agar Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali di bawah kendali Panglima TNI. Atau agar Kepolisian Republik Indonesia dikembalikan ke bawah Kementerian Dalam Negeri," ujar Deddy.
Pernyataan Deddy Sitorus ini menuai polemik. Banyak kalangan yang menolak usulan itu karena tidak sesuai amanat reformasi.
Baca Juga: Membangkang dan Resmi Dipecat, Effendi Simbolon Dilarang Pakai Embel-embel PDIP
Sejarah Polri Di Bawah Kemendagri
Dilihat dari sejarahnya, Polri sudah pernah ditempatkan di bawah Kementerian Dalam Negeri yaitu di masa awal kemerdekaan RI.
Pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menempatkan Kepolisian Dalam Negeri.
Lalu pada Tanggal 29 September 1945, R.S. Soekanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI oleh Presiden Soekarno. Presiden memberi amanat agar Soekanto membangun Kepolisian Nasional.
Melihat struktur polisi saat itu yang berada di bawah Departemen Dalam Negeri, Kepala Kepolisian Negara Sukanto mulai ragu.
Baca Juga: Profil dan Agama Effendi Simbolon, Politikus Senior Dipecat PDIP karena Dukung Ridwan Kamil
Ia menilai polisi bisa dijadikan semacam social force atau kekuatan sosial yang cenderung digunakan sebagai kekuatan politik oleh Departemen Dalam Negeri.
Contohnya adalah adanya tindakan Residen Bondowoso Jawa Timur yang saat itu menangkapi orang-orang tertentu dengan menggunakan polisi untuk suatu hal yang bersifat politik.
Sementara Sukanto menghendaki agar kepolisian hanya berfungsi sebagai alat penjaga keamanan dan ketertiban.
Ia lalu mengajukan pertimbangan kepada Pemerintah agar kepolisian menjadi institusi mandiri yang tidak tergabung di Kemendagri. Usul Sukanto ini disetujui lewat Penetapan Pemerintah Nomor 11/1946 tanggal 22 Juni 1946.
Isinya menyatakan ditetapkan bahwa mulai 1 Juli 1946, Jawatan Kepolisian Negara dikeluarkan dari lingkungan Departemen Dalam Negeri menjadi jawatan tersendiri langsung di bawah Perdana Menteri.
Pemisahan Polri dari Mendagri inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari Bhayangkara. Peringatan Hari Kepolisian atau Hari Bhayangkara setiap 1 Juli baru dimulai sejak tahun 1954.
Penetapan ini berdasarkan Surat Keputusan (SK) Perdana Menteri RI Nomor 86/PM/II/1954, tertanggal 29 Juli 1954.
SK tersebut dikeluarkan berdasarkan hasil permusyawaratan pada Konferensi Dinas Kepolisian Negara di Tretes, Jawa Timur pada 24 hingga 27 November 1952.
Menurut SK Perdana Menteri RI Nomor 86/ PM/1954, setelah ditinjau lebih lanjut tentang hari bersejarah Kepolisian RI, ternyata dalam penyelenggaraannya ditemukan faktor-faktor psikologis yang perlu dihindari.
Oleh karena itu pemerintah memandang perlu menetapkan hari yang terbaik untuk ditetapkan sebagai Hari Kepolisian, yakni pada 1 Juli.
Di dalam SK Perdana Menteri RI Nomor 86/ PM/1954 itu disebutkan, Hari Kepolisian harus diperingati dengan upacara setiap 1 Juli di masing-masing kantor polisi.
Upacara digelar dengan mengucapkan Kode Kehormatan Kepolisian Negara serta diadakan pidato yang dapat mempertebal rasa persatuan dan kesatuan polisi negara.
Pelaksanaan peringatan Hari Kepolisian Negara diatur menurut Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara 30 Juni 1959 Nomor pol:3/4/Sek.
Ada dua macam peringatan Hari Kepolisian menurut SK tersebut, yaitu pertama diadakan tiap lima tahun sekali sejak 1955.
Peringatan ini dilakukan secara besar dan selanjutnya disebut peringatan Panca Warsa. Upacara dilakukan di lapangan dengan memasukkan acara parade, apel besar dan defile.
Kedua, peringatan Hari Kepolisian dilakukan secara sederhana, disebut juga Peringatan Tahunan. Dalam upacara ini tidak dimasukkan acara apel besar.