Suara.com - Pemerintah memastikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 berlaku mulai Januari 2025.
Kebijakan ini sejalan dengan amanat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, meskipun kebijakan ini menuai pro dan kontra, kenaikan PPN tetap dijalankan untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"APBN harus tetap menjadi instrumen penyerap kejut (shock absorber) untuk menjaga stabilitas perekonomian," ujarnya pada Rabu (13/11/2024) kemarin.
Meski begitu, sejumlah barang dan jasa yang dianggap penting untuk kebutuhan dasar masyarakat tidak akan dikenakan PPN 12 persen.
Daftar barang dan jasa yang tidak dikenai PPN ini diatur dalam Pasal 4A UU HPP dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 16 Tahun 2017. Beberapa di antaranya meliputi:
- Makanan dan minuman yang disajikan di restoran, hotel, warung, rumah makan, atau usaha katering.
- Uang, emas batangan untuk cadangan devisa, dan surat berharga.
- Jasa keagamaan, kesenian, hiburan, dan perhotelan.
- Jasa penyediaan tempat parkir.
- Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka pelayanan umum.
Selain itu, kebutuhan pokok seperti beras, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging segar, telur, susu, buah-buahan, sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan segar, serta gula konsumsi kristal putih juga tidak dikenai PPN 12 persen.
Menurut PMK Nomor 16 Tahun 2017, barang kebutuhan pokok yang dikecualikan dari PPN 12 persen mencakup beras, jagung, kedelai, garam konsumsi, serta daging segar. Hal ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya pada sektor kebutuhan dasar.
Sementara itu, pemerintah mengimbau masyarakat untuk memahami penerapan kebijakan ini sebagai langkah untuk menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang.
Dengan daftar barang dan jasa yang bebas dari PPN 12 persen, diharapkan kebutuhan dasar tetap terjangkau bagi masyarakat.