Suara.com - Congklak dikeluarkan dari tempat peristirahatan. Bukan kelereng atau kerikil yang mengajak kami bersenang-senang di tengah kelumit kehidupan.
Dijinjing perlahan lalu disajikan di atas meja, congklak tua dengan lubang berjumlah 16 ini mengusik pikiran kami. Membuat kami mempertanyakan apakah kami benar-benar mengenal tanah air kami, Indonesia.
Ketakutan akan kegagalan menggema dalam diri saya, dan mungkin dalam diri seorang perempuan dan seorang laki-laki di sisi kanan kiri saya. Namun tepat di hadapan kami, perempuan berhidung lancip bernama Bukhi Prima Putri tersenyum manis, menatap dengan sorot kelembutan, menanti jawaban kami.
Sebagai pemilik dari Bhumi Bhuvana (Sansekerta: bhumi = bumi, bhuvana = semesta), bersama kucing kesayangan, Kokom, Bukhi tak sekadar tampil bak seorang tuan atas tanah yang kami pijaki, melainkan seorang rakyat yang mengabdi untuk mencari, mengumpulkan, mencatat, hingga mengolah aneka sumber daya pangan di Indonesia.
Baca Juga: Ketua MPR: Konsep Ketahanan Pangan Selalu Andalkan Barang Impor
Mungkin dari situ lah ketenangan saya mulai terusik. Berhadapan dengan lebih dari 16 sumber pangan yang berlindung di atas lubang-lubang congklak, saya hanya mampu mengidentifikasi bawang putih, bunga lawang, dan cengkeh.
Bawang putih saja, menyisakan kisah yang saya yakin tak semua orang memiliki kemauan untuk membuka lembarannya. Bawang putih yang disodorkan kepada kami adalah bukti bahwa apa yang menjadi lokal telah teriris oleh apa yang menjadi praktis.
Bawang putih yang sebagian besar ditemukan di pasar, dibeli setiap harinya, dielu-elukan jadi rempah wajib bagi masakan-masakan Indonesia, bukan lah milik kita. Bawang putih ‘kita’ memiliki ukuran yang jauh lebih kecil, yang rasa dari satu siungnya bisa setara dengan tiga atau empat siung bawang putih impor yang biasa dikonsumsi.
Saya pun mengambil langkah untuk membuktikannya. Diiringi dengan keengganan, saya memasukkan setengah siung bawang putih lokal ke dalam mulut dan dibuat terkejut dengan rasa yang kuat, sedikit pedas, dan lebih renyah. Rasa yang diperoleh usai saya bersama perempuan di samping kanan saya menghabiskan waktu lama, bergulat menghadapi kulit si bawang putih yang tak mudah dipisahkan dari dagingnya.
Saat itu lah, ucapan dari Bukhi membuat mata saya terbuka. Masalah utama di balik kekalahan bawang putih lokal tidak terletak pada persoalan rasa, melainkan kepraktisan. Masyarakat Indonesia cenderung memilih bawang putih lokal, yang selain ukurannya lebih besar, juga lebih mudah untuk dikupas.
Baca Juga: Distribusi Beras dari Bulog Jadi Langkah Strategis demi Pastikan Ketahanan Pangan
“Yang membuat dia (bawang putih lokal) jarang dijual karena orang malas mengupasnya (bawang putih berukuran lebih kecil),” ujar Bukhi di sela-sela percobaan saya menikmati satu siung bawang putih lokal.
Meski begitu, sebuah titik terang disertakan oleh Bukhi, bagi masyarakat terutama warga Yogyakarta yang ingin mencoba memasak atau sekadar mencicipi bawang putih lokal.
“Yang masih ada itu pasar-pasar di area Gunung Kidul, di Beringharjo aja udah nggak ada. Di Temanggung, masih ada,” terang Bukhi.
Persoalan mengenai lenyapnya popularitas bawang putih lokal ini juga disampaikan oleh Dwi Indriyati, pendiri sekaligus pemilik dari bulkstore (toko curah) pertama di Yogyakarta, Peony Ecohouse.
Tepat di pojok atas paling kiri dari rak kedua, saya menemukan sebuah toples bertuliskan bubuk bawang putih. Kendati tak penuh, bubuk tersebut adalah hasil tangan dari seorang Dwi Indriyati yang dibuatnya dari bawang putih lokal alih-alih impor.
Memandang saya, bubuk dalam toples tersebut seolah bersuara mengenai keputusasaan yang dialami para petani bawang putih lokal.
Melakukan apa yang diminta tak selalu membuahkan hasil yang sepadan bagi mereka. Jangankan mampu melebihi, bawang putih lokal belum tentu mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersaing di pasar.
Demi sedikit pun hasil yang bisa dituai, mau tak mau para petani mengubah peran mereka menjadi penjual. Mereka menjajakan bawang putih mereka ke sana ke mari, tangan dan kaki menemani. Sebab, persoalan kedua di balik sekaratnya bawang putih lokal tidak terwakili oleh harga, melainkan oleh akses distribusi.
“Yang paling mengalami kesulitan itu adalah para petani bawang putih (lokal). Mereka diminta untuk menanam banyak, namun ketika panen, mereka tidak tahu harus menjual kemana. Mereka bingung (bawang putih lokal) mau dibawa kemana,” ungkap Dwi Indriyati.
“Dari segi harga sebenarnya masih (terjangkau), namun dari segi ukuran, tidak sebesar bawang putih konvensional (impor) karena distributornya banyak. (Bawang putih lokal), siapa yang akan mendistribusikan sebanyak itu? (Akses) terbatas. Jadi yang mendistribusikan mereka (para petani) sendiri,” sambung Dwi, berbagi soal perbincangannya dengan para petani/pengelola bawang putih lokal.
Lantas, jika bawang putih lokal tidak mendapatkan tempat, apakah kita yang adalah masyarakat Indonesia akan menggantungkan hidup kita pada apa yang bukan menjadi milik kita dan mematikan apa yang telah diberikan semesta kepada kita?
Satu siung bawang putih telah berbicara dan mungkin saja, krisis yang terjadi bukan sekadar pangan kita, melainkan pengetahuan kita atas pangan yang kita miliki.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Sjamsul Hadi selaku Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat melalui Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia,
Tanam apa yang kita makan, makan apa yang kita tanam.
Menanam apa yang kita makan dan makan apa yang kita tanam adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya petani, pengelola pangan, distributor, namun juga konsumen.
Kita bertanggung jawab atas apa yang kita tanam sebagaimana kita bertanggung jawab atas apa yang kita makan. Begitu pun sebaliknya, kita bertanggung jawab atas apa yang kita makan sebagaimana kita bertanggung jawab atas apa yang kita tanam.
Jika kita mengharapkan masa depan pangan yang cerah atau setidaknya aman untuk anak cucu kita, bukan sekadar sistem pangan adaptif yang kita perlukan, melainkan sebuah sistem yang sesuai dengan jati diri kita, Indonesia. Kita tidak hanya memerlukan pangan yang bisa bertahan dalam waktu lama, namun juga pangan yang berkebudayaan dan berdaulat, yaitu pangan yang sesuai dengan sumber daya lokal.
Mari kita berjalan ke kawasan Indonesia Tengah dan belajar dari Suku Boti yang menetap di Nusa Tenggara Timur. Beriklim kering dan bertanah kapur, masyarakat Boti justru membuat pemerintah kicep dengan kemandirian mereka.
Alih-alih mengeluh dan mengemis, masyarakat Boti berhasil menciptakan sistem pangan yang menyatu dengan kebudayaan mereka. Mereka menanam beragam tanaman dan makan beragam tanaman yang mereka tanam, menjaga kelestarian lingkungan mereka, mengutamakan proses secara organik, dan tentu saja tidak mengorbankan sistem kepercayaan.
Apa yang dilakukan oleh masyarakat Boti adalah contoh bahwa apa yang lokal bisa menyelamatkan kita. Apa yang ada di sekitar kita, apa yang telah diberikan kepada kita adalah apa yang harus kita cari, apa yang harus kita olah.
Mencari dan mengolah adalah dua hal berbeda. Namun baik mencari ataupun mengolah pangan adalah skill (kemampuan) yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang, sebagaimana mencari dan mengolah telah dicontohkan oleh para leluhur kita sejak masa pra sejarah.
“Kalau bisa mencari berarti memiliki sumber untuk mencarinya (pangan). Untuk mengolah, kita perlu memiliki pangannya kemudian diolah menjadi sesuatu yang mengenyangkan sesuai dengan kebutuhan kita. Mungkin kita butuh dua skill itu, mencari dan mengolah, dari zaman pra sejarah pun sudah dilakukan (dengan berburu),” tutur Dwi.
Mencari dan mengolah pangan pun tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan kita atas pangan itu sendiri. Saat berkunjung ke Peony Ecohouse, saya dibuat takjub dengan beragam pangan lokal yang tertata dengan rapi.
Pangan-pangan tersebut dijual tanpa minimal pembelian dengan konsep zero waste, di mana pembeli diimbau membawa wadah masing-masing alih-alih disediakan kantong plastik oleh Peony.
Meski begitu, Peony tetap menyediakan wadah-wadah bekas hasil donasi yang bisa dimanfaatkan oleh para pembeli yang lupa atau pun baru pertama kali berkunjung tanpa membawa wadah.
Prinsip yang dipegang Peony ini tak hanya mematahkan stigma bahwa produk yang disebut dengan organik memiliki harga yang mahal, namun untuk menunjukkan jika kita bisa mencegah pangan yang terbuang dengan membeli sesuai kebutuhan kita.
“Jadi diproses supaya orang (pembeli) itu belanja sesuai kebutuhan. Biar lebih bijak dalam (berbelanja). Beli itu ya sesuai yang dibutuhkan. Misalnya, (produk) di supermarket dijual dalam kemasan 1 kilogram padahal kita perlu hanya 100 gram. Jika kita beli (produk tersebut), (ada potensi) akan terbuang,” ujar Dwi.
Produk-produk yang ditawarkan oleh Peony bisa disebut mewakili pangan lokal yang ada di Yogyakarta, maupun sekitar Yogyakarta. Kita bisa melihat teh kuning asal Kulonprogo, Yogyakarta di rak paling kiri. Atau di rak paling kanan, kita bisa menyaksikan pasta lokal buatan UMKM asal Bandung, yang warna-warni dengan bentuk seperti kerang-kerang kecil nan menggemaskan.
Promosi terkait pangan juga dilakukan oleh Bhumi Bhuvana (Bhubhu) yang bersemayam di kawasan Prawirotaman, Yogyakarta. Dibersamai congklak, di sisi lain menceritakan kisah soal bawang putih, Bukhi selaku pemilik Bhubhu memperkenalkan ragam rempah lokal yang kerap terabaikan bentuknya.
Pala di ujung kanan, disusul buah kemiri hingga cengkeh bertengger manis di atas congklak. Merica, ketumbar, kluwek turut meramaikan. Namun di antara mereka, ada dua pangan yang asing yang berhasil mengelabui saya.
Dua pangan tersebut adalah asam sunti yang berasal dari Aceh dan asam kandis yang berasal dari Sumatera Barat. Dua jenis asam ini tidak berusaha mengkerdilkan asam Jawa, melainkan menunjukkan bukti dari kekayaan keragaman hayati di Indonesia jika kita benar-benar mencari.
Bila asam Jawa berasal dari apa yang disebut dengan pohon asam Jawa, lain halnya dengan asam sunti dan asam kandis. Asam kandis dibuat khusus dari kulit buah dari jeruk limau.
Sementara asam sunti dibuat dari belimbing wuluh yang kemudian dikeringkan dan diasinkan. Diolahnya belimbing wuluh sebagai bahan asam sunti ini tentunya bukan hal yang lumrah di Pulau Jawa, mengingat belimbing wuluh cenderung digunakan untuk membuat kuah garang asem atau sambal khas belimbing (Banyuwangi).
Belum usai dikejutkan dengan varietas asam tersebut, saya diperkenalkan dengan krangean. Rempah sekaligus pangan lokal yang bentuknya mirip dengan kayu manis dan berbau khas minyak tawon.
Usut punya usut, krangean yang misterius ini adalah pangan yang digunakan sebagai penyedap dari makanan paling favorit di Indonesia, yaitu rendang. Rendang yang dimaksudkan adalah rendang khas Sumatera yang dimasak bersama krangean dan rempah lainnya, yaitu mesoyi.
Berpindah sejenak dari congklak, Bukhi melangkahkan kaki ke arah rak-rak di belakang saya dan dua tamu lainnya. Dibawanya sebuah buah sawo berukuran besar, yang dijuluki dengan sawo mentega atau alkesah.
Usai memotong alkesah untuk kami, Bukhi bercerita tentang ia dan Labhu (Laskar Bhumi)--julukan bagi mereka yang memiliki Bhumi Bhuvana bersama, menemukan pohon alkesah di lapangan dekat tempat mereka. Terkadang mereka sengaja pergi ke sana, berbincang dengan orang-orang, sembari menanti buah-buah alkesah yang siap matang untuk dipetik.
Sorot mata tenang terlihat di kedua mata Bukhi, seolah memancarkan kepercayaan diri atas ramainya krisis pangan di Indonesia.
“Kalau secara global, secara nasional, ya kita susah pangan. Tapi kalau kita berkunjung ke desa-desa, jelas tidak (mengalami krisis pangan). Mereka (desa) sangat kaya,” ujar Bukhi Prima Putri, pemilik toko kelontong dan kedai Bhumi Bhuvana, Yogyakarta.