Suara.com - Penelitian terbaru mengungkapkan hubungan menarik antara memori rasa takut pada tikus dan manusia. Temuan ini berpotensi merevolusi pengobatan untuk gangguan stres pascatrauma atau PTSD.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Profesor Andero Galí dari ICREA di Autonomous University of Barcelona.
"Semua hewan menghadapi ancaman sepanjang hidup mereka, memicu respons stres yang penting untuk bertahan hidup," kata Andero Galí dalam wawancara yang diterbitkan di Brain Medicine dan disiarkan oleh Medical Xpress, Selasa (29/10/2024).
Penelitian ini menyoroti bagaimana stres dan memori saling berinteraksi. Laboratorium Andero Galí menggabungkan teknik mutakhir, seperti pencitraan kalsium in vivo pada tikus dan studi respons ketakutan manusia.
Saat ini, fokus penelitian adalah untuk memahami bagaimana siklus menstruasi memengaruhi pembentukan memori ketakutan, menggunakan metode canggih untuk mengukur hormon seks dan respons ketakutan di kedua spesies.
Galí menekankan pentingnya mendobrak batasan dalam penelitian tradisional. "Kita perlu mengubah cara penelitian ilmu saraf dilakukan dengan mendobrak batasan antara penelitian hewan dan manusia," ujarnya.
Pendekatan lintas spesies ini diharapkan dapat menciptakan pemahaman yang lebih menyeluruh tentang otak manusia.
Selain itu, fokus laboratorium pada reseptor neuropeptida menawarkan jalan baru untuk pengembangan obat.
Reseptor ini, yang sebagian besar diekspresikan di wilayah emosional, dapat menjadi target yang lebih tepat untuk gangguan berbasis rasa takut dibandingkan pengobatan saat ini yang menargetkan reseptor di seluruh otak.
Perjalanan Andero Galí dari musisi menjadi ilmuwan saraf menunjukkan pentingnya pemikiran kreatif dalam inovasi ilmiah. "Lingkungan yang sehat dan positif sangat penting bagi interaksi dan pembelajaran anggota laboratorium," tambahnya.
Publikasi terbaru, termasuk makalah di Science Advances tahun 2024, menunjukkan keberhasilan pendekatan terpadu ini dengan data yang menunjukkan keselarasan antara aktivitas neuron tikus dan pencitraan saraf manusia selama respons rasa takut.
Temuan ini juga membuka diskusi tentang perbedaan jenis kelamin dalam pemrosesan rasa takut serta potensi pendekatan terapeutik yang lebih terarah. (antara)