Siti Khadijah tumbuh sebagai sosok yang cerdas, berbudi luhur, dan bergelimang harta sehingga banyak pemuda saat itu yang mengaguminya.
Pada tahun 575 Masehi, ibu Siti Khadijah meninggal dan sepuluh tahun kemudian disusul ayahnya yang bernama Khuwailid.
Sepeninggalnya kedua orang tua, Siti Khadijah kemudian mewarisi kekayaan orang tua dan menyadari bahwa warisan itu merupakan ancaman baginya.
Sebab, ia sadar jika kekayaan mampu membuat seseorang lalai sehingga ia mencoba meredam godaan harta tersebut.
Pada awalnya, Siti Khadijah menikah dengan seorang lelaki kaya bernama Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi yang dikaruniai dua orang anak bernama Halah dan Hindun.
Tak berselang lama, suaminya meninggal dunia sehingga menjadikan Siti Khadijah sebagai janda kaya raya pada saat itu karena sang suami juga meninggalkan jaringan perniagaan.
Kemudian, Siti Khadijah menikah lagi dengan Atiq bin ‘A’id bin Abdullah al-Makhzumi. Tak berselang lama, suaminya keduanya pun meninggal dunia dengan meninggalkan harta serta perniagaan.
Dengan demikian, Siti Khadijah menjadi janda terkaya di golongan Quraisy sehingga banyak bangsawan yang melamarnya, namun ia menolak karena perhatiannya ingin tertuju pada anak.
Suatu ketika, Nabi Muhammad sedang mengelola barang dagangan milik Siti Khadijah untuk dijual ke Syam bersama Maisyarah.
Baca Juga: Suswono: Sistem Zonasi PPDB Sangat Tepat Diterapkan di Jakarta
Setibanya dari perjalanan tersebut, Maisyarah menceritakan segala sesuatu tentang Nabi Muhammad, termasuk watak dan kepribadian sang Rasul.