Suara.com - Belum lama ini seorang pendaki hilang di Gunung Slamet ditemukan dalam kondisi selamat. Naomi Daviola Setyani, siswi SMKN 3 Semarang dievakuasi tim SAR gabungan di sekitar pos 7 Kemalang pada Selasa (8/10/2024).
Naomi dinyatakan hilang setelah mengikuti open trip bersama 40 orang pada Sabtu (5/10/2024). Namun, dia tidak ada saat rombongan sudah sampai di basecamp Bambangan pada Minggu (6/10/2024). Tim SAR gabungan yang mendapat laporan mencari keberadaan korban dan menemukannya tiga hari setelahnya.
Gunung Slamet menjadi salah satu favorit bagi para pendaki. Banyak yang memasukkan gunung api dengan tinggi 3.432 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu dalam daftarnya.
Akan tetapi, di balik keindahan Gunung Slamet ada kisah kelam hilangnya pendaki. Jauh sebelum Naomi, ada tragedi memilukan pada Tahun 1985 dan 2001.
Baca Juga: Cerita Naomi Daviola Hilang di Gunung Slamet, Ditolong Burung hingga Ingat Antar Anak-anak ke Gereja
Berikut ini kisah pilu pendaki hilang di tahun 1985 dan 2001.
Kisah Hilangnya 3 Mahasiswa IKIP Negeri Semarang Tahun 1985
Tiga pendaki yang merupakan mahasiswa IKIP Semarang (saat ini Universitas Negeri Semarang), Alex Puji Winarto, Iqbal latif, dan Gagah Pribadi dinyatakan hilang pada Januari 1985.
Dua dari tiga pendaki ditemukan, yakni Alex Puji Winarto dalam kondisi selamat, sedangkan Iqbal latif meninggal di dasar Jurang. Sementara Gagah belum ditemukan.
Dalam kanal RJL 5 - Fajar Aditya, Alex mengaku hilang selama 13 hari sebelum akhirnya ditemukan.
Baca Juga: Sosok Naomi, Siswi SMK Semarang yang Viral Usai Hilang di Gunung Slamet
Pencinta Alam UGM Hilang pada Tahun 2001
Kisah memilukan terjadi pada 2001. Tujuh orang mahasiswa pencita alam Universitas Gadjah Mada (Mapagama) mendaki Gunung Slamet.
Ketujuh pendaki tersebut bernama Turniadi (Dodo), Masrukhi, Dewi Priamsari, Bagus Gentur Sukanegara, Ismarilianti (Iis), Bregas Agung, dan Ahmad Fauzan mendaki lewat Desa Kaliwadas, Brebes.
Tragedi bermula pada 6 Februari 2001 saat tujuh orang ini memulai pendakian ke puncak dan tiba di batas vegetasi. Namun, kondisi cuaca memburuk. Mereka terpaksa mendirikan tenda karena terjebak badai.
Pada Tanggal 7 Februari 2001 pagi, cuaca di puncak terlihat cerah. Mereka pun memutuskan untuk melanjutkan menuju ke puncak, dalam perjalanan tiba-tiba dihantam badai.
Keputusan mendirikan tenda di bibir kawah diputuskan pada 8 Februari 2001. Saat itu salah satu anggota, Masrukhi sudah terserang hipotermia.
Sebetulnya, sempat ada pendaki asal Jakarta yang menemukan rombongan asal UGM tersebut. Namun, tidak bisa mendekat karena badai sedang menggila.
Akhirnya, salah satu anggotanya, Dewi memutuskan untuk turun bersama pendaki asal Jakarta ke Bambangan mencari pertolongan.
Namun, kisah pilu terjadi di puncak tempat rombongan UGM menginap. Masrukhi meninggal dunia di pangkuan rekannya. Setelah itu, keputusan turun diambil dengan meninggalkan jasad Masrukhi yang nanti akan dijemput lagi.
Kelima orang turun dalam kondisi kelelahan. Salah satu anggota Dodo diminta turun terlebih dahulu untuk mencari pertolongan. Setelah sehari menunggu, pertolongan tidak kunjung datang. Gentur pun menyusul untuk turun ke desa terdekat.
Gentur pun tiba Desa Serang antara Baturaden dan Bambangan. Ternyata, rekannya Dodo tidak pernah sampai di desa terakhir. Tim SAR gabungan kemudian dikerahkan untuk mencari korban lainnya.
Rekan-rekannya ditemukan meninggal dunia di lokasi yang berbeda-beda. Fauzan meninggal dunia di dalam tenda 20 meter di bawah batas batas vegetasi. Sedangkan Iis dan Bergas ditemukan di bawah cerukan air terjun di ketinggian 2.750 mdpl.