Suara.com - Fenomena gantungan kunci boneka "Labubu" tengah melanda kota-kota besar di Indonesia. Boneka monster dengan gigi tajam ini menjadi incaran banyak orang setelah dipopulerkan oleh Lisa, personel K-pop dari Blackpink.
Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun rela antre berjam-jam untuk mendapatkannya, mulai dari subuh hingga tengah malam, hanya untuk dianggap tidak ketinggalan zaman.
Viralnya gantungan boneka karya seniman asal Hong Kong, Kasing Lung, ini menciptakan hiruk-pikuk di berbagai kota besar di Indonesia. Orang-orang memburu Labubu untuk menunjukkan status sosial mereka di media sosial.
Mulai dari TikTok, Instagram, hingga Facebook, mereka berusaha memamerkan boneka ini untuk mendapatkan ratusan viewer. Hal ini memicu rasa bangga yang berlebihan, terutama jika memiliki lebih dari satu boneka.
Namun, tak semua pihak merasa senang dengan tren ini. Banyak orang tua mengeluhkan anak-anak mereka yang memaksa untuk memiliki gantungan kunci boneka tersebut, bahkan sampai merasa takut akan dikucilkan di sekolah jika tidak memilikinya.
Beberapa sekolah di Jakarta pun terpaksa melarang murid membawa Labubu ke sekolah karena menyebabkan kesenjangan di antara siswa, hingga ada yang menolak untuk bersekolah karena malu tidak memilikinya.
Menurut Fajar Eri Dianto, Ketua Umum Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Indonesia, fenomena ini tidak lepas dari FOMO (Fear of Missing Out) atau ketakutan tertinggal tren di dunia daring.
"FOMO membuat orang merasa harus mengikuti tren media sosial, meskipun itu bukan kebutuhan utama," katanya, Selasa (1/10/2024).
Selain tren yang memaksa untuk selalu mengikuti arus, pemakaian teknologi digital yang berlebihan juga berdampak pada kesehatan mental. Media sosial, dengan kemampuannya menyebarkan informasi secara instan, sering kali menjadi sumber stres bagi penggunanya. Tekanan sosial ini tidak hanya terjadi di kalangan remaja, tetapi juga orang dewasa yang terobsesi untuk terus "terhubung" secara daring.
Psikolog klinis Universitas Indonesia, Kasandra Putranto, menegaskan pentingnya menjaga kesehatan mental di tengah arus teknologi yang terus berkembang. "No health without mental health," ujarnya. Kesehatan mental sangat penting bagi siklus kehidupan manusia, termasuk dalam hal berpikir, berinteraksi, dan menikmati hidup.
Fenomena FOMO dan Konsumsi Berlebihan
FOMO mendorong banyak orang untuk terlibat dalam berbagai tren demi menjaga citra sosial mereka di media sosial. Padahal, hal ini sering kali tidak mendukung kebutuhan prioritas individu, tetapi hanya menuruti keinginan sekunder. Fenomena ini menciptakan gaya hidup konsumtif yang tidak sehat, dan pada akhirnya dapat berdampak negatif pada kesehatan mental.
Pemanfaatan media sosial yang berlebihan juga membuat penggunanya lebih rentan terkena gangguan kecemasan. Membandingkan kehidupan pribadi dengan orang lain yang terlihat lebih bahagia atau sukses di media sosial kerap menimbulkan perasaan tidak puas dan rendah diri.
Solusi untuk Kesehatan Digital
Kaspersky, perusahaan keamanan siber dan privasi digital global, memberikan beberapa tips untuk menjaga kesehatan mental di era digital. Salah satunya adalah dengan mengatur privasi akun media sosial secara lebih bijak. Menyesuaikan siapa yang dapat melihat unggahan kita dapat mengurangi interaksi yang tidak diinginkan dan menjaga keamanan informasi pribadi.
Selain itu, warganet disarankan untuk hanya terhubung dengan orang-orang yang dikenal secara pribadi agar terhindar dari risiko penipuan atau konten berbahaya. Melaporkan aktivitas mencurigakan dan cyberbullying juga penting untuk menjaga lingkungan daring yang lebih aman dan positif.
Menghadapi fenomena seperti gantungan kunci Labubu yang viral, warganet diingatkan agar tidak terjebak dalam budaya konsumtif yang dipicu oleh FOMO. Mengelola penggunaan teknologi digital dan media sosial dengan bijak adalah kunci untuk menjaga kesehatan mental dan kesejahteraan di era modern.