Generasi Sandwich: Terhimpit Doom Spending, Masa Depan Makin Suram?

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Jum'at, 27 September 2024 | 13:26 WIB
Generasi Sandwich: Terhimpit Doom Spending, Masa Depan Makin Suram?
Apa Itu Doom Spending yang disebut kebiasaan Gen Z? (Freepik)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dalam kehidupan sosial saat ini, banyak individu dari Generasi Z dan Milenial lebih suka membelanjakan uang untuk barang-barang mewah daripada menyimpan atau menabung. Aktivitas ini kerap dilakukan sebagai bentuk "penghargaan diri" setelah bekerja keras atau sebagai cara untuk meredakan kekhawatiran yang mereka rasakan. 

Kebiasaan ini, sering kali tidak terencana, dikenal dengan istilah "doom spending", yaitu menghabiskan uang secara impulsif untuk meredakan kecemasan terkait situasi ekonomi atau masa depan. Jika kebiasaan ini tidak dikendalikan, Generasi Z dan Milenial berpotensi mengalami kemiskinan lebih cepat dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.

Apa Itu Doom Spending? 

Menurut laporan dari CNBC Make It, Ylva Baeckstrom, seorang dosen senior di King's Business School yang juga mantan bankir, menyebutkan bahwa kebiasaan "doom spending" ini adalah perilaku yang merugikan dan bisa berakibat fatal bagi kesehatan finansial. Baeckstrom menjelaskan bahwa perilaku ini muncul sebagai respons terhadap banjir berita buruk yang sering diakses melalui media sosial.

Baca Juga: Tips Menggali dan Mengembangkan Potensi Buat Gen Z, Kemana Harus Menyalurkan Bakat?

Baeckstrom juga menambahkan bahwa paparan berita negatif ini membuat kaum muda merasa seolah-olah dunia akan segera berakhir. Hal tersebut mendorong mereka untuk mengalihkan perasaan cemas tersebut menjadi pola belanja yang tidak sehat.

Generasi Z dan Milenial disebut sebagai generasi yang paling cepat kehilangan stabilitas finansial. Berdasarkan hasil Survei Keamanan Finansial Global yang dilakukan oleh CNBC Your Money dan Survey Monkey, hanya sekitar 36,5 persen orang dewasa yang merasa lebih baik secara finansial dibandingkan dengan orang tua mereka. 

Sementara itu, 42,8 persen lainnya justru merasa berada dalam kondisi keuangan yang lebih buruk dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Survei ini melibatkan 4.342 responden dewasa dari berbagai negara.

Baeckstrom menekankan bahwa generasi muda saat ini kemungkinan besar akan lebih miskin daripada orang tua mereka dalam jangka waktu yang cukup panjang. Mereka merasakan ketidakmampuan untuk mencapai standar hidup yang setara dengan generasi sebelumnya, yang kemudian memicu pengeluaran yang berlebihan sebagai bentuk upaya untuk merasa memiliki kendali dalam dunia yang tampak semakin tidak terkendali. 

Padahal, menurut Baeckstrom, keputusan untuk menghabiskan uang pada hal-hal yang tidak penting justru mengurangi kesempatan untuk mempersiapkan masa depan, seperti misalnya membeli rumah, yang bisa terwujud jika mereka memilih menabung dan berinvestasi.

Baca Juga: Dari Pengalaman Pribadi, Idgitaf Tuangkan Kisah Generasi Sandwich Terhimpit Utang di Soundtrack Home Sweet Loan

Salah satu alasan utama mengapa Generasi Z dan Milenial cenderung boros adalah karena keinginan untuk melarikan diri dari tekanan hidup. Daivik Goel, pendiri sebuah startup di Silicon Valley, mengakui bahwa kebiasaan belanjanya, mulai dari membeli pakaian mewah hingga barang-barang teknologi terbaru, didorong oleh ketidakpuasan dengan pekerjaannya dan tekanan dari lingkungannya. 

Menurut Goel, kebiasaan ini berawal dari keinginan untuk melepaskan diri dari rutinitas yang menekan. Namun, setelah ia menemukan kebahagiaan dalam pekerjaannya, perilaku borosnya perlahan menghilang. Ia menyatakan bahwa memiliki kepuasan dalam pekerjaan dapat mengubah cara pandang seseorang terhadap uang dan pengeluaran.

Untuk mengatasi masalah boros ini, Baeckstrom menyarankan agar setiap individu memahami hubungan mereka dengan uang. Menurutnya, cara seseorang memperlakukan uang sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka dibesarkan dan pengaruh lingkungan masa kecil mereka. Jika seseorang memiliki hubungan yang sehat dengan uang, mereka akan lebih mampu membuat keputusan finansial yang bijak. Sebaliknya, jika mereka merasa tidak aman secara finansial, perilaku boros menjadi lebih mungkin terjadi.

Stefania Troncoso Fernandez, seorang warga Kolombia berusia 28 tahun, mengakui bahwa kurangnya literasi keuangan juga bisa menjadi faktor penyebab boros. Fernandez menjelaskan bahwa latar belakang keluarganya yang miskin membuatnya tidak pernah mendapatkan dorongan untuk menabung sejak kecil.

Samantha Rosenberg, pendiri platform pengembangan kekayaan, mengusulkan bahwa salah satu cara untuk menghindari kebiasaan boros adalah dengan memperlambat proses berbelanja. Berbelanja langsung di toko fisik, misalnya, dapat membantu seseorang untuk mempertimbangkan lebih matang sebelum melakukan pembelian. Hal ini bisa diperkuat dengan menyalakan notifikasi transaksi di ponsel, sehingga setiap pengeluaran dapat dievaluasi dengan lebih kritis.

Rosenberg juga merekomendasikan untuk kembali menggunakan uang tunai dalam bertransaksi, karena menurutnya pembayaran non-tunai sering kali membuat pengeluaran semakin tidak terkontrol akibat kemudahan dalam melakukan transaksi.

Kontributor : Rishna Maulina Pratama

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI