Suara.com - Pemain naturalisasi di Timnas Indonesia kembali menjadi polemik setelah mantan Dubes RI untuk Polandia, Peter Gontha, melayangkan kritik.
Dalam unggahan di Instagram, Peter Gontha menyebut sejumlah pemain naturalisasi di era pelatih Shin Tae-yong memiliki kewarganegaraan ganda.
"Apakah Anda tahu bahwa naturalisasi mereka hanya sementara, karena mereka mempunyai dua paspor," tulis Peter Gontha.
"Nanti kalau sudah selesai main di Indonesia mereka akan buang status WNI mereka? (saya tahu)," kata pria yang juga pengusaha terkenal ini.
Baca Juga: Sosok Linda Tombeng, Ibu Mees Hilgers yang Berdarah Manado
Keberadaan pemain naturalisasi di Timnas Indonesia memang selalu menjadi polemik. Ada pihak yang pro ada juga yang kontra. Pihak pro berargumen kehadiran pemain naturalisasi dibutuhkan untuk menaikkan kualitas permainan Timnas Indonesia.
Sementara pihak kontra biasanya mengaitkan dengan nasionalisme dan dedikasi para pemain naturalisasi terhadap merah putih. Namun tidak sepenuhnya bule yang menjadi WNI tidak loyal terhadap bangsa.
Buktinya ada dalam sejarah perjalanan TNI. Dulu TNI pernah punya prajurit naturalisasi yang sangat berjasa bagi bangsa. Dia adalah Rodes Barendrecht "Rokus" Visser.
Profil Visser
Rokus Bernardus Visser lahir di Desa Boskoop, Provinsi Zuid, Belanda pada 13 Mei 1914. Ayahnya adalah seorang petani tulip Belanda yang sukses.
Baca Juga: Tanggapan Menohok Rocky Gerung Soal Banyaknya Pemain Naturalisasi
Baru lulus kuliah, Visser muda membantu ayahnya menjual bola lampu di London ketika Perang Dunia II pecah.
Tidak dapat kembali ke tanah airnya yang diduduki Nazi, Visser mendaftar sebagai tentara Belanda yang dibentuk di Inggris.
Visser memperoleh keterampilan tempur saat dilatih di Pelatihan Dasar Komando Achnacarry di Skotlandia.
Pelatihan dilakukan di pantai yang dingin dan tidak berpenghuni.
Selama pelatihan, Visser memperoleh berbagai keterampilan tempur, seperti membunuh tanpa senjata, membunuh pengawal, menembak diam-diam, pertarungan tangan kosong, hingga membunuh tanpa senjata api.
Setelah berlatih di Skotlandia, dia diberi 'vet glider' (baret hijau). Sedangkan baret merah diperoleh Visser saat mengenyam pendidikan dari British Special Air Service (SAS).
Lulus dari pendidikan, DIa ditugaskan sebagai sopir pribadi Ratu Wilhelmina. Karena patriotisme, atau kebosanan, Sersan Visser meninggalkan pos sopirnya yang nyaman setelah setahun.
Visser menjadi sukarelawan sebagai petugas radio untuk Pasukan Belanda ke-2 Bagian dari Komando Antar-Sekutu—yang mengumpulkan unit terpisah dari pasukan Polandia, Norwegia, dan Prancis. Ini adalah pasukan elit yang diorganisir untuk mendukung perebutan kembali daratan Eropa.
Pertempuran pertama Visser adalah ketika terlibat dalam Operasi Market Garden pada bulan September 1944.
Visser kemudian ditugaskan menjadi instruktur di sekolah pasukan khusus Belanda di India yang dikenal dengan School Opleiding Parachutisten/SOP (Paratrooper School).
Sekolah tersebut kemudian dipindahkan ke Jakarta pada tahun 1946 dan kemudian dipindahkan lagi ke Hollandia atau Jayapura, Papua. Pada tahun 1947 Sekolah penerjun payung pindah dari Hollandia yang terpencil ke Bandung.
Setelah Belanda resmi menyerahkan kedaulatan secara penuh ke Indonesia, Visser ternyata sudah nyaman dengan gaya hidup di Indonesia.
Namun seorang berkebangsaan Belanda tinggal di Indonesia yang baru merdeka juga menimbulkan masalah bagi Visser. Ia berpikir apakah dirinya akan diterima lingkungan saat menetap di Indonesia.
Bagi beberapa rekan Visser, keinginannya untuk meninggalkan Belanda dan tetap tinggal di Indonesia tidak lebih dari pengkhianatan.
Namun karena rasa cintanya terhadap tanah Indonesia, Visser memutuskan tinggal di Indonesia menjadi warga sipil biasa.
Dia menetap di Cisarua, Lembang, Jawa Barat dan menjalin hubungan asmara dengan perempuan Sunda. Visser lalu memutuskan menjaidi warga negara Indonesia, menikahi pacarnya yang orang Indonesia dan menjadi mualaf. Ia pun merubah namanya menjadi Mochamad Idjon Djanbi.
Perintis Kopassus
Kehebatan Idjon Djanbi sebagai pasukan khusus Belanda menarik minat Panglima Tentara dan Teritorium Siliwangi Kolonel Alex Evert Kawilarang untuk merekrutnya.
Saat itu Kawilarang berkeinginan membentuk pasukan komando di Siliwangi. Setelah melalui negosiasi alot, Idjon Djanbi akhirnya mau menjadi anggota TNI dengan pangkat mayor.
Ia lalu ditunjuk menjadi instruktur untuk melatih para prajurit Siliwangi agar memiliki kemampuan komando. Djanbi lalu memilih Batujajar sebagai markasnya untuk melatih para prajurit Siliwangi.
Proyek pelatihan komando Siliwangi ini lalu diambil alih Mabes TNI. Salah satu murid Idjon Djanbi yang terkenal adalah Benny Moerdani. Nama pasukan komando saat itu adalah Korps Komando Angkatan Darat (KKAD).
Seiring berjalan waktu, KKAD berubah nama menjadi Pusat Pasukan Khusus TNI-AD (PUSPASUS TNI-AD). Lalu di tahun 1971 nama satuan ini berganti menjadi Komando Pasukan Sandhi Yudha (KOPASSANDHA). Pada tahun 1985 satuan ini berganti nama menjadi Komando Pasukan Khusus (KOPASSUS) hingga saat ini.
Seperti kita tahu Kopassus telah melahirkan prajurit-prajurit tangguh yang kini sukses di pusaran kekuasaan seperti Prabowo Subianto dan Luhut Binsar Pandjaitan. Tanpa jasa Visser tentu kita tak akan menemukan Prabowo dan Luhut seperti yang sekarang ini.