Suara.com - Muhammad Iqbal Ramadhan putra penyanyi Machica Mochtar dan Jenderal Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara era Presiden Soeharto memberikan pidato yang cukup menohok.
Pidato yang disampaikan di sebuah acara televisi dipandu oleh Aiman Witjaksono ini berhasil menggugah publik.
Kata-kata yang dituliskan pria kelahiran 1996 itu sarat akan makna yang dinilai bisa menjadi tamparan keras bagi Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.
"Pukulan telak untuk Gibran dan Kaesang," demikian netizen banyak berkomentar mengenai pidato Iqbal Ramadhan.
Lantas seperti apa isi pidato penuh anak yang sempat tak diakui keluarga Moerdiono tersebut? Berikut naskahnya.
"Memang benar ayah saya seorang Jenderal TNI dan pejabat tinggi era Orde Baru, namun saya lahir dari rahim seorang perempuan, seorang ibu yang penuh dengan perjuangan.
Ibu saya harus bekerja keras mencari nafkah dan merawat saya tanpa kehadiran sosok ayah.
Saya tidak pernah menggunakan nama besar ayah saya untuk kepentingan prbadi. Saya menjaga rapat latar belakang kedua orang tua saya. Bahkan ketika saya berada pada situasi yang sangat mengerikan di hadapan aparat bersenjata yang melecehkan, memukul, dan menendang kepala saya.
Tidak sedikitpun terpikirkan untuk memanfaatkan nama besar ayah saya agar diberikan pengampunan oleh aparat.
Baca Juga: 8 Tahun Bersama Jenderal Moerdiono, Machica Mochtar Curhat Tak Pernah Menyangka akan Berpisah
Hanya satu yang saya ingin ketahui bagaimana rasanya menjadi masyarakat kecil saat mereka ditangkap dan ditahan oleh aparat keamanan karena menuntut hak-haknya. Hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak semua anak bangsa di atas bumi manusia.
Saya bukan seorang anak yang hidup dalam kemewahan dan kekuasaan. Sejak kecil saya berjuang melawan ketidakadilan. Ibu saya selalu menanamkan nilai-nilai keadilan dan welas asih.
Harapan terbesar ibu saya adalah agar saya bisa berguna bagi masyarakat dan berpihak kepada mereka yang terpinggirkan.
Di saat yang lainnya memanfaatkan nama besar orang tuanya agar mendapatkan kedudukan dan jabatan, di sisi lain ada banyak orang tua dan pemuda yang berjuang untuk membayar pendidikan yang mencekik, mencari kerja untuk menjadi tulang punggung keluarga, dan menjadi ojol hanya untuk bertahan hidup sehari.
Jurang antara si kaya dan si miskin begitu lebar di negeri ini. Takdir memilih saya menjadi anak dari seorang jenderal TNI di era Orde Baru dan penyanyi kampung dari Sulawesi Selatan. Saya tidak bisa menolak takdir itu
Namun hal itu tidak menutup hati saya dan akal sehat saya untuk melawan kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyatnya. Menolak penguasa membangun kuil dinasti keluarga di saat rakyatnya kesulitan mendapat pekerjaan, masyarakat adat digusur dan dikriminalisasi , pejuang HAM dikriminalisasi, pejuang lingkungan dibunuh, biaya pendidikan mahal, sembako mahal, dan minimnya akses bantuan hukum untuk masyarakat kurang mampu.
Sebagai seorang manusia, hal itu yang tidak dapat saya terima.
Perjuangan ini bukan hanya tentang saya. Perjuangan di bulan Agustus 2024 milik semua pemuda yang bahu membahu melakukan perlawanan yang dimulai sejak 22 Agustus hingga hari ini milik semua pemuda yang mengalami kekerasan oleh aparat keamanan.
Cerita di akhir bulan Agustus kemerdekaan Indonesia adalah cerita tentang perjuangan pemuda yang menentang status quo dan penguasa yang zalim.
Saya hanyalah seorang anak yatim yang sedang berjuang melawan ketidakadilan. Saya tidak berbeda dengan anak muda lainnya yang sedang berjuang melawan ketidakadilan di negeri ini.
Negeri ini bukan hanya milik keluarga tertentu. Kami pemuda menolak tunduk pada kekuasaan yang zalim."