Suara.com - Nama pejuang Francisca Fanggidaej ikut jadi sorotan mengiringi aktor Reza Rahadian yang ikut aksi demo tolak Revisi UU Pikada sekaligus kawal Putusan MK di depan Gedung DPR RI pada Kamis (22/8/2024) kemarin. Reza bukan hanya ikut aksi demo, tapi juga memberikan orasi di depan ribuan massa yang turun ke jalan untuk menolak Revisi UU Pilkada.
Usut punya usut, Francisca Fanggidaej merupakan nenek dari Reza Rahadian. Maka tak heran, Reza Rahadian memancarkan aura pejuang yang begitu kuat dalam orasinya.
Simak profil Francisca Fanggidaej, seorang pejuang sekaligus nenek Reza Rahadian berikut ini.
Profil Francisca Fanggidaej

Francisca Casparina Fanggidaej lahir pada 16 Agustus 1925 dan meninggal pada 13 November 2013 dalam usia 88 tahun. Dia dilahirkan dari keluarga Gottlieb Fanggidaej, seorang pegawai tinggi di Hindia Belanda dan Magda Maël, ibu rumah tangga dari Timor Timur.
Sosok Francisca merupakan tokoh pergerakan Indonesia wanita yang juga seorang guru bahasa Inggris dan penerjemah. Dia juga bekerja sebagai wartawan untuk Radio Gelora Pemuda Indonesia.
Francisca sering dipanggil dengan sebutan "Belanda Hitam" oleh penduduk setempat, yakni julukan bagi orang pribumi yang statusnya disamakan dengan dengan orang Belanda. Dia dibesarkan dalam budaya Indo dan karena posisi sang ayah, maka Fransisca bisa mengikuti pendidikan seperti anak-anak kulit putih.
Dikarenakan selalu berbicara bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari, akhirnya Francisca menjadi sangat fasih menggunakan bahasa itu.
Fransisca awalnya selalu merasa terusik ketika melihat orang-orang menundukkan kepala dan berjalan jongkok ketika memberi hormat kepada orang tuanya. Dia juga bertemu dengan beberapa orang yang rasis karena keluarganya memiliki kulit berwarna. Hal itulah yang kemudian mulai membangkitkan kesadaran anti kolonialisme di dalam diri Francisca.
Ketika masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda, Francisca mulai aktif mengikuti diskusi-diskusi dengan pemuda Maluku di Surabaya. Dia juga bergabung dengan Pemuda Republik Indonesia.
Selain itu dia juga ikut menghadiri Kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan November 1945, dan kemudian bergabung dalam Pertempuran Surabaya.