2. Jika KDRT Parah, Korban Pasti Pergi?
Anggapan bahwa korban KDRT akan segera meninggalkan pasangan jika kekerasan yang dialami terlalu parah, adalah mitos belaka. Kenyataannya, banyak korban, terutama perempuan, tetap tinggal bersama pelaku karena berbagai alasan, termasuk rasa cinta yang masih ada, janji pelaku untuk berubah, dan kekhawatiran terhadap keselamatan anak-anak mereka.

3. KDRT Hanya Berwujud Kekerasan Fisik?
Mitos ini juga sangat salah kaprah. KDRT tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik. Tindakan mengontrol, memaksa, mengancam, merendahkan, hingga kekerasan seksual juga termasuk dalam KDRT. Kekerasan dalam rumah tangga adalah rangkaian tindakan yang berulang dengan tujuan untuk mengendalikan korban.
4. Pelaku KDRT Tetap Bisa Jadi Orangtua yang Baik?
Banyak yang berpikir bahwa seorang pelaku KDRT masih bisa menjadi orangtua yang baik. Namun, fakta menunjukkan bahwa 90 persen anak-anak yang ibunya mengalami KDRT, turut menyaksikan kekerasan tersebut. Dampak traumatis pada anak-anak ini sangat besar, dan sering kali mereka juga menjadi korban kekerasan langsung dari pelaku.
5. KDRT Masalah Pribadi, Bukan Masalah Sosial?
KDRT sering dianggap sebagai urusan pribadi antara suami dan istri. Kenyataannya, dampak KDRT merambah jauh ke masyarakat luas, mencakup biaya medis, pengobatan, hingga pengadilan dan penjara. KDRT bukan hanya masalah pribadi; ini adalah kejahatan sosial yang serius dan meluas, yang harus ditangani dengan tindakan yang tegas.
6. Perempuan Sama Kasarnya dengan Lelaki dalam KDRT?
Sebagian besar kasus KDRT melibatkan lelaki sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban. Data menunjukkan bahwa 92 persen terdakwa KDRT adalah lelaki, sementara 75 persen korban adalah perempuan. Mitos bahwa perempuan sama kasarnya dengan lelaki dalam KDRT adalah pengaburan fakta yang tidak berdasar.