Kisah Pilu Cut Intan Nabila dan Jerat Kekerasan yang Tak Terlihat, Kenapa Korban KDRT Enggan Bersuara?

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Kamis, 15 Agustus 2024 | 12:03 WIB
Kisah Pilu Cut Intan Nabila dan Jerat Kekerasan yang Tak Terlihat, Kenapa Korban KDRT Enggan Bersuara?
Kolase Cut Intan Nabila dan Armor Toreador. (Instagram/Suara.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Selebgram Cut Intan Nabila membuat heboh setelah mengunggah video kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya, Armor Toreador. Belakangan diketahui, ia sudah jadi korban KDRT sejak tahun 2020 dan selalu menyembunyikannya dari teman dan keluarga.

Tidak sedikit warganet yang menyayangkan mengapa KDRT yang dialami Cut Intan baru dilaporkan sekarang. Ada juga yang bertanya kenapa Cut Intan masih bertahan, meski sudah 4 tahun menjadi korban KDRT. Pertanyaan-pertanyaan ini membuktikan betapa rumitnya masalah yang dialami korban KDRT, termasuk alasan mereka sulit bersuara.

Enggan Bersuara, Korban KDRT Takut Kehilangan

Paula Wilcox, penulis buku Surviving Domestic Violence: Gender, Poverty and Agency (2006), menjelaskan  alasan korban KDRT enggan melapor adalah takut kehilangan. Ia menjelaskan kehilangan adalah tema penting dalam memahami kompleksitas dan tantangan yang dihadapi perempuan saat mencoba mengakhiri hubungan yang penuh kekerasan. Tidak hanya kehilangan hubungan itu sendiri, banyak perempuan juga harus menghadapi kehilangan rumah, komunitas, dan bahkan identitas mereka.

Baca Juga: Apa Tugas dan Jabatan Mulan Jameela di DPR? Bantu Cut Intan Nabila Jebloskan Armor Toreador ke Penjara

Wilcox yang juga seorang dosen dan mengajar kuliah Kriminologi dan Sosiologi di Universitas Brighton, Inggris, menyebut kehilangan-kehilangan ini sering kali dilihat sebagai cerminan buruk pada perempuan yang meninggalkan hubungan tersebut. Masyarakat cenderung menyalahkan perempuan atas kekerasan yang mereka alami, dan lebih parahnya lagi, perempuan sering kali juga menyalahkan diri sendiri.

"Mereka merasa bahwa kegagalan untuk mempertahankan hubungan adalah bukti ketidakmampuan mereka dalam menjalankan peran gender yang diharapkan. Seiring berjalannya waktu, tanpa ada perubahan signifikan dalam perilaku pasangan mereka, perasaan malu dan terhina semakin mendalam, menambah beban psikologis yang sudah mereka pikul," tulis Wilcox, dikutip Kamis (15/8/2024).

Stigma Gender dalam Kasus KDRT

Secara terpisah, psikolog klinis Nirmala Ika mengungkapkan bahwa meskipun secara umum laki-laki lebih sering menjadi pelaku KDRT, hal ini tidak lepas dari pengaruh konstruksi gender serta stigma yang tertanam dalam masyarakat, terutama dalam budaya ketimuran.

"Ada nilai-nilai yang seolah-olah menempatkan perempuan itu posisinya di bawah laki-laki. Kalau mau jadi istri yang baik, ya di bawah laki-laki. Sehingga ketika si laki-laki yang tidak punya kesadaran bahwa dia sudah melakukan kekerasan, kekerasan jadi makin terjadi," jelas Nirmala dihubungi terpisah, Rabu (14/8).

Baca Juga: Sama-Sama Dukung Cut Intan Nabila, Intip Beda Bantuan Henny Rahman dan Larissa Chou

Konstruksi gender yang kuat sering kali membuat laki-laki merasa superior dalam rumah tangga, sehingga mereka tidak menyadari bahwa perilaku mereka sudah masuk dalam kategori kekerasan. Hal ini diperburuk dengan pola pikir patriarki yang mempengaruhi perempuan untuk tetap bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan. Perempuan, sebagai korban, sering kali merasa bahwa merekalah yang harus berubah dan mempertahankan keluarga, meskipun itu berarti mengorbankan diri mereka sendiri.

Menurut Nirmala, pemikiran ini tidak hanya datang dari laki-laki, tetapi juga tertanam dalam diri perempuan akibat didikan lingkungan dan stigma yang terus hidup di masyarakat. Sistem pendidikan dan budaya yang membedakan peran laki-laki dan perempuan semakin memperkuat pandangan bahwa perempuan harus mengutamakan keluarga di atas segalanya.

"Secara tidak sadar, masyarakat, budaya, sistem pendidikan, bahkan negara kita membedakan perempuan dan laki-laki. Di mana posisi perempuan ditempatkan sebagai yang harus mempertahankan keluarga, harus mengasuh anak. Jadi seolah-olah ketika dalam rumah tangga ada masalah, yang harus bertahan, harus berubah adalah istrinya," ujar Nirmala.

Ilustrasi setop KDRT. (Kolase/Unsplash/Freepik)
Ilustrasi setop KDRT. (Kolase/Unsplash/Freepik)

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pergeseran pandangan yang menempatkan stigma, rasa malu, dan rasa bersalah pada pelaku, bukan pada perempuan yang menjadi korban. Hal ini penting agar pengungkapan kekerasan dalam rumah tangga tidak lagi menjadi hal yang mempermalukan perempuan.

Dengan dukungan yang tepat, perempuan yang mengalami KDRT dapat lebih percaya diri dalam mengambil langkah untuk meninggalkan hubungan yang beracun tanpa merasa malu atau bersalah. Karena itu dibutuhkan peran aktif seluruh pihak dalam mengubah cara pandang masyarakat terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, agar mereka dapat meraih kehidupan yang lebih baik tanpa harus menanggung beban stigma yang tidak semestinya.

"Konteks sosial yang lebih luas, termasuk respons dukungan yang memadai, harus menjadi fokus utama dalam upaya menggeser wacana menyalahkan korban. Para penyintas dan pekerja di bidang kekerasan dalam rumah tangga telah menyadari pentingnya meningkatkan dukungan yang diberikan kepada perempuan yang berani keluar dari lingkaran kekerasan," tambah Wilcox.

Membongkar Mitos Seputar KDRT

KDRT sering kali diselimuti oleh berbagai mitos yang tidak hanya menyesatkan tetapi juga berbahaya. Mitos-mitos ini tidak hanya mempersulit korban untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan, tetapi juga mengaburkan pemahaman kita tentang KDRT itu sendiri.

Melansir Women's Aid, mari kita kupas tuntas mitos-mitos tersebut dan mengungkap kebenaran yang jarang diketahui.

1. Alkohol dan Narkoba, Biang Keladi KDRT?

Ada anggapan bahwa alkohol dan narkoba adalah penyebab utama kekejaman dalam rumah tangga. Faktanya, meskipun penyalahgunaan zat ini bisa memperburuk perilaku, tidak semua pengguna alkohol atau narkoba melakukan KDRT. Kekerasan dalam rumah tangga adalah tindakan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab pelaku, bukan akibat dari pengaruh zat tertentu.

2. Jika KDRT Parah, Korban Pasti Pergi?

Anggapan bahwa korban KDRT akan segera meninggalkan pasangan jika kekerasan yang dialami terlalu parah, adalah mitos belaka. Kenyataannya, banyak korban, terutama perempuan, tetap tinggal bersama pelaku karena berbagai alasan, termasuk rasa cinta yang masih ada, janji pelaku untuk berubah, dan kekhawatiran terhadap keselamatan anak-anak mereka.

Kasus KDRT (freepik)
Kasus KDRT (freepik)

3. KDRT Hanya Berwujud Kekerasan Fisik?

Mitos ini juga sangat salah kaprah. KDRT tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik. Tindakan mengontrol, memaksa, mengancam, merendahkan, hingga kekerasan seksual juga termasuk dalam KDRT. Kekerasan dalam rumah tangga adalah rangkaian tindakan yang berulang dengan tujuan untuk mengendalikan korban.

4. Pelaku KDRT Tetap Bisa Jadi Orangtua yang Baik?

Banyak yang berpikir bahwa seorang pelaku KDRT masih bisa menjadi orangtua yang baik. Namun, fakta menunjukkan bahwa 90 persen anak-anak yang ibunya mengalami KDRT, turut menyaksikan kekerasan tersebut. Dampak traumatis pada anak-anak ini sangat besar, dan sering kali mereka juga menjadi korban kekerasan langsung dari pelaku.

5. KDRT Masalah Pribadi, Bukan Masalah Sosial?

KDRT sering dianggap sebagai urusan pribadi antara suami dan istri. Kenyataannya, dampak KDRT merambah jauh ke masyarakat luas, mencakup biaya medis, pengobatan, hingga pengadilan dan penjara. KDRT bukan hanya masalah pribadi; ini adalah kejahatan sosial yang serius dan meluas, yang harus ditangani dengan tindakan yang tegas.

6. Perempuan Sama Kasarnya dengan Lelaki dalam KDRT?

Sebagian besar kasus KDRT melibatkan lelaki sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban. Data menunjukkan bahwa 92 persen terdakwa KDRT adalah lelaki, sementara 75 persen korban adalah perempuan. Mitos bahwa perempuan sama kasarnya dengan lelaki dalam KDRT adalah pengaburan fakta yang tidak berdasar.

7. KDRT Hanya Karena Emosi Sesaat?

Ada keyakinan bahwa KDRT terjadi karena pelaku kehilangan kendali akibat emosi sesaat. Kenyataannya, KDRT jarang sekali terjadi karena emosi spontan. Pelaku biasanya sadar dan memilih waktu tertentu, sering kali saat tidak ada saksi atau hanya ada anak-anak yang menyaksikan, untuk melakukan kekerasan. Ini menunjukkan bahwa KDRT lebih merupakan tindakan yang direncanakan daripada sekadar luapan emosi sesaat.

Mitos-mitos ini tidak hanya salah, tetapi juga membahayakan korban KDRT. Penting untuk memahami fakta sebenarnya agar kita bisa memberikan dukungan yang tepat bagi mereka yang membutuhkan. KDRT adalah kejahatan yang nyata dan serius, dan kita semua memiliki tanggung jawab untuk tidak terjebak dalam mitos-mitos yang menyesatkan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI