Suara.com - Kawasan Gondangdia saat ini salah satunya dikenal karena keberadaan Stasiun Gondangdia yang menjadi tempat pemberhentian para pekerja di sekitarnya. Tetapi, siapa sangka bahwa kawasan ini punya peran kunci bagi pengembangan kawasan Gondangdia, Menteng, Cikini dan sekitarnya di masa lampau.
Bahkan, hingga kini masih terdapat beberapa monumen yang menjadi saksi sejarah pengembangan wilayah yang dulu dikenal dengan nama Nieuw-Gondangdia. Suara.com mencoba menelusuri sisa-sisa sejarah bersama Jakarta Good Guide, sekelompok pemandu wisata yang memperkenalkan sejarah dengan berkeliling dan berjalan kaki.
Suara.com dipandu oleh pemandu dari Jakarta Good Guide, Riki Baihaki. Rute pagi tadi, Rabu, (17/7/2024) dimulai dari gedung Sentra Mandiri dan ditutup di kawasan Cendana, yang merupakan kompleks rumah Mantan Presiden Soeharto.
"Nieuw-Gondangdia adalah 'pintu masuk' (kawasan Menteng). Dahulu kantor pemasarannya ada di sekitar sini," demikian kata Riki.
Lantas, seperti apa keseruannya? Berikut ini rangkuman perjalanannya.
Sentra Mandiri
Rute dimulai dari Sentra Mandiri. Sentra Mandiri mulanya adalah kantor pusat Bank Industri Negara (BIN). Bank ini menjadi Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dari 1955 hingga 1995, sebelum pindah ke Plaza Bapindo di kawasan segitiga emas.
Sentra Mandiri selesai dibangun pada 1955 dan diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 6 April 1956 sebagai kantor pusat BIN. Berbeda dengan anggapan bahwa Sentra Mandiri dirancang oleh Friedrich Silaban, gedung ini sebenarnya adalah karya arsitek Belanda, A.W. Gmelig Meyling, dari biro arsitek Ingenieurs-Bureau IngenegerenVrijburg (IBIV), yang kemudian menjadi Indah Karya. Ciri khasnya adalah lobi besar dengan mosaik yang menghiasi jendela.
Patung Persahabatan
Baca Juga: 4 Rekomendasi Buku dengan Vibes Mirip Bumi Manusia, Yuk Baca Sejarah!
Usai dari Sentra Mandiri, kami sedikit bergeser ke arah kawasan Masjid Cut Meutia. Di bagian tengah jalan, ada salah satu patung yang kerap tidak disadari latar pembuatannya. Patung itu ialah Patung Persahabatan.
Ini dibuat oleh Hanung Mahadi. Ia adalah seorang seniman sekaligus akademisi yang mengajar di Institute Kesenian Jakarta. Patung Persahabatan menggambarkan belasan pemuda dalam derap langkah yang sama, menyimbolkan solidaritas.
Beberapa figur mengepalkan tangan, sementara lainnya memegang balok kayu. Dengan pendekatan realis tanpa detail presisi, patung ini menampilkan kesatuan gerak di bagian kakinya. Patung ini terletak di tengah Jalan Cut Meutia, Menteng, dekat taman di kawasan Masjid Cut Meutia.
Masjid Cut Meutia
Setelah berjalan kaki kurang lebih 200 meter, Suara.com dan rombongan tiba di Masjid Cut Meutia. Masjid Cut Meutia adalah salah satu peninggalan sejarah dari era kolonial Belanda, dibangun pada tahun 1912 sebagai kantor biro arsitektur N.V. De Bauploeg.
Bangunan ini memiliki berbagai fungsi sebelum menjadi masjid: kantor pos, kantor Jawatan Kereta Api Belanda, kantor Kempetai Angkatan Laut Jepang, kantor Wali Kota Jakarta Pusat, Kantor Perusahaan Daerah Air Minum, dan kantor Dinas Perumahan Jakarta. Bahkan pernah menjadi kantor MPRS di bawah pimpinan Jenderal AH Nasution.
Setelah MPRS pindah ke Senayan, AH Nasution mengusulkan gedung ini dijadikan masjid, mengingat minimnya masjid di sekitar Kebun Sirih. Pada tahun 1984, Remaja Masjid Cut Meutia dibentuk untuk mengurus masjid dan jamaah.
Akhirnya, melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 5184/1987 tertanggal 18 Agustus 1987, gedung ini resmi beralih fungsi menjadi Masjid Cut Meutia, diresmikan oleh Gubernur R. Soeprapto.
Tugu Kunstkring Palais
Dari Masjid Cut Meutia kami bergeser melintas Stasiun Gondangdia, hingga akhirnya tiba di Tugu Kunstkring Palais. Bangunan ini didesain oleh Pieter Adriaan Jacobus Moojen dan menjadi tempat para seniman profesional bertumbuh kembang. Gedung ini menggelar berbagai pameran, termasuk karya seniman kelas dunia seperti Vincent Van Gogh, Pablo Picasso, Paul Gauguin, dan Marc Chagall.
Selain sebagai tempat pameran, gedung ini juga digunakan untuk pergelaran seni, kuliah seni, kelas melukis, dan memiliki perpustakaan seni. Pada tahun 1950, Gedung Palais beralih fungsi menjadi Kantor Imigrasi Jakarta Pusat hingga 1993. Setelah kantor imigrasi pindah ke Kemayoran, gedung ini terbengkalai selama beberapa tahun hingga direnovasi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2007 dan disewakan kepada grup hotel dan restoran.
Desain gedung ini menggabungkan ornamen khas Jawa, Eropa, dan Oriental, termasuk ruang privat seperti Soekarno Room dan ruang makan utama Ruang Pangeran Diponegoro dengan lukisan besar penangkapan Pangeran Diponegoro. Kini, Tugu Kunstkring Palais berfungsi sebagai restoran mewah yang menyajikan menu masakan daerah, dengan rijsstafel ala Betawi sebagai menu andalan. Beberapa hidangan disajikan sambil beratraksi, menjadikan pengalaman makan di sini lebih istimewa.
Rumah Presiden Soeharto di Jalan Cendana
Usai berkeliling di Tugu Kunstring, kami berjalan agak sedikit lebih jauh. Jaraknya kurang lebih 1 kilometer hingga tiba di jalan Cendana. Kawasan ini dikenal karena merupakan kediaman Presiden Kedua Republik Indonesia Soeharto.
Soeharto dan keluarganya pindah ke Jalan Cendana pada tahun 1968, setelah dia dilantik sebagai Presiden Kedua Republik Indonesia pada 27 Maret 1968.
Sebelumnya, mereka tinggal di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat. Namun, rumah itu dianggap tidak aman oleh pengawal kepresidenan karena adanya gedung tinggi di belakangnya yang berpotensi menimbulkan ancaman. Pada masa itu, situasi keamanan belum sepenuhnya stabil, dengan gesekan antara pendukung Orde Lama dan Orde Baru yang masih berlangsung dan menyebabkan korban jiwa.
Kini rumah tersebut tampak sepi dari depan. Tak banyak aktivitas yang terlihat di depannya. Konon keluarga Presiden Soeharto kini enggan menempati rumah tersebut.