Suara.com - Memperingati Hari Daerah Tropis Internasional, Desa Kartun Sidareja menggelar acara unik berupa pemeran dan pentas seni Jawa Purba untuk pelestarian alam. Tak main-main, pertunjukan seni ini berdurasi 90 menit alias satu jam setengah.
Hari Daerah Tropis Internasional diperingati pada tanggal 29 Juni setiap tahunnya untuk meningkatkan kesadaran seluruh negara di dunia, tentang permasalahan yang dihadapi wilayah tropis. Di momen inilah secara khusus pemuda penggiat seni di Desa Sidareja, yakni Pemuda Kie Seni, mempersembahkan acara pementasan bertajuk Gemah Ripah Loh Jinawi.
"Di mana kami berharap dapat menjadikan event ini sebagai pengingat kita, untuk selalu menghargai dan melestarikan alam sekitar kita di mana sebagai contoh beberapa flora fauna di sekitar gunung Slamet yang kian punah seperti elang jawa , berbagai anggrek , kantong semar, macan tutul, kumbang hitam dan monyet daun," ujar Pegiat Kie Art, Gita Yohanna Thomdean melalui keterangan yang diterima suara.com, Kamis (4/7/2024).
Pertunjukan yang diinisiasi Gita bersama sesama Pegiat Kie Art, Slamet Santosa, menyajikan pertunjukan dramatis di awal pementasan, yaitu arak-arakan kesenian Jawa purba. Di mana seorang penari tunggal membagikan padi sebagai ungkapan syukur dan pengingat betapa suburnya Indonesia.
Baca Juga: 20 Ribu Wisatawan Padati Festival Hari Nelayan Palabuhanratu, Perputaran Uang Meningkat Signifikan
Pementasan ini juga menampilkan Tari Ujungan untuk menyatukan 2 desa. Di mana jalan ceritanya manusia diajak untuk menebar kedamaian untuk menjaga alam.
Tidak hanya itu pertunjukan juga menyajikan tari contampoer cakilan dan kuda lumping. Atraksi disajikan secara apik oleh para penari cilik dengan latar pepohonan. Aksi tarian ini ditujukan untuk menggambarkan perilaku manusia, yang akhirnya menyadari janji bersama untuk hidup berdampingan dengan alam, yang akan selalu jadi teman setia hingga akhir zaman.
Di akhir pertunjukan juga terdapat momen pembacaan puisi berjudul Sang Alam. Puisi ini mengandung arti sebuah perjanjian manusia dengan alam. Lalu pertunjukan diakhiri dengan fashion show batik Hadipriyanto, yang uniknya model peragaan busana itu diisi oleh para pembatik yang sudah bekerjasama selama puluhan tahun dengan jenama batik tersebut.
Gita yang juga Founder Kie Art Project ini menyebutkan kolaborasi para pegiat seni dengan batik Hadipriyanto sangatlah terkait erat dengan pelestarian alam. Ini karena jenama lokal tersebut kerap menampilkan berbagai corak flora dan fauna, berpadu dengan warna yang khas.
Mengenal lukisan gaya Mooi Indie di Banyumas sempat hits di tahun 70-an
Baca Juga: Festival Kebudayaan Berdayakan UMKM, Menparekraf Imbau Adakan Sesering Mungkin
Uniknya, pementasan seni yang dibarengi pameran lukisan ini juga dilakukan dalam rangka menghidupkan kembali lukisan gaya Mooi Indie di Jawa Tengah. Apalagi pada 1970 hingga 1980 silam, Banyumas sempat jadi tujuan utama wisatawan mancanegara yang menggemari seni lukis, hingga mendapat julukan galeri terpanjang se Asia Tenggara.
Perlu diketahui, gaya lukisan Mooi Indie identik dengan keindahan alam, yang awalnya pertama kali dibawa para seniman Eropa pada 1830 ke Indonesia. Saat itu keindahan alam Gunung Slamet jadi objek lukisan yang paling digemari.
Sayangnya, pada 1990 terjadi 'bom seni' di Indonesia sehingga lukisan dijual secara besar-besaran. Ditambah perkembangan media dalam seni lukis dan kolektor yang sudah punya selera berbeda.
Inilah sebabnya, kebangkitan gaya lukis Mooi Indie perlu kembali digemborkan. Hasilnya, tidak kurang dari 4 pelukis dari Kie Art Project diterjunkan, dan semua pelukis berasal dari Banyumas dan Ex Banyumas Raya. Keempatnya berhasil membuat pameran seni bertajuk 'Kebangkitan Mooi Indie Modern versi Kie Art Project bersama Batik Hadipriyanto.
"Keempat pelukis memiliki karakter kebangkitan yang berbeda satu sama lain menjadikan Mooi Indie Modern kian hidup," ujar Slamet.
Adapun pameran masih berlangsung pada 29 Juni hingga 29 Juli 2022 di Homestay Hadipriyanto yang terletak dekat dengan Kota Lama Banyumas.