Suara.com - Keluarga Atta Halilintar tak henti-hentinya menarik perhatian publik. Kali ini Geni Faruk menggembarkan publik dengan mengatakan kalau Thariq Halilintar, putranya sudah pernah diajak tawaf saat berusia dua bulan sehingga harus dipanggil haji. Apakah benar harus seperti itu? Simak sejarah gelar haji di Indonesia selengkapnya di artikel ini.
Sikap ibu Thariq dan Atta Halilintar yang bernama lengkap Langgogeni Faruk itu pun menuai cibiran netizen. Netizen membicarakan perihal sah atau tidaknya ibadah haji dalam kandungan tersebut. Banyak yang kemudian membicarakan salah satu syarat sah berhaji adalah sudah baligh atau sudah dewasa.
Masalah tersebut kemudian ditanggapi oleh Geni Faruk. Ia mengklarifikasi bahwa pernyataannya dalam acara lamaran putranya dengan Aaliyah Massaid merupakan candaan belaka.
Namun, ini menarik perhatian masyarakat pada sejarah gelar haji itu sendiri.
Sejarah gelar haji
Setiap umat Islam di Indonesia yang sudah selesai melaksanakan ibadah haji di Makkah mendapatkan gelar haji atau hajjah. Ternyata penyematan gelar tersebut hanya terjadi di dunia Islam Melayu, seperti Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand Selatan, dan Indonesia.
Penyematan gelar haji merujuk kepada aktifitas ibadah di Mekah 'haji' tersebut. Haji dalam perspektif agama Islam merupakan perjalanan jauh, panjang, mahal, dengan persyaratan tidak mudah dan tidak semua orang bisa. Melaksanakan ibadah haji masuk ke dalam rukun Islam yang kelima, yang dianjurkan untuk dilaksanakan hanya oleh orang-orang yang mampu.
Penyematan gelar haji dapat dilihat dalam dua perspektif. Pertama perpektif kultural masyarakat Indonesia itu sendiri dan kedua, perpektif kolonial.
Dalam perpesktif kultural, masyarakat Indonesia suka memberikan gelar kepada orang-orang yang berhasil melaksanakan sesuatu. Ibadah haji merupakan aktifitas yang bagi masyarakat Indonesia adalah aktifitas heroik, berhubungan dengan syarat sah melaksanakan haji yang tidak dapat dilakukan semua orang.
Dikutip dari kemenag.go.id, seseorang yang dapat melalui ujian berat sampai ke tanah suci sampai melakukan tawaf dianggap berhasil, mendapatkan anugerah dan kehormatan ketika kembali ke tanah air, sehingga mereka diberi gelar haji. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, penyematan gelar haji dianggap sangat penting, sebab itu berkaitan dengan cerminan status sosial dan kebanggaan.
Baca Juga: Geni Faruk Cuma Bercanda Soal Gelar Haji Thariq Halilintar, Netizen: Garing Candaannya!
Sementara dalam perpektif kolonial. Ada kisah panjang berhubungan dengan sejarah gelar haji. Singkat cerita sejumlah tokoh agama di masa kolonial yang baru pulang melaksanakan ibadah di Makkah membuat sebuah perkumpulan atau organisasi untuk menyusun pemberontakan terhadap Belanda.
Belanda menganggap orang-orang yang baru pulang dari Makkah itu sebagai pemimpin pemberontakan. Maka, agar pihak Belanda lebih mudah mengawasi pemberontak dan pemimpin pemberontak dari golongan Islam, disebutlah mereka yang baru pulang dari Makkah dengan tambahan gelar 'haji'. Hal itu kemudian terwariskan sampai sekarang, tapi dengan perpektif yang lebih positif, sebagai pahlawan Islam.
Di mana artinya, sosok yang sudah berhaji adalah sosok yang dapat melawan hawa nafsu. Dalam hidup, ia sudah selesai dengan keinginan-keinginan yang bersifat materi. Ia menjadi sosok yang lebih dekat dengan sang pencipta, lebih bertakwa. Dengan demikian di mata masyarakat Indonesia, seorang haji atau hajjah mendapatkan kedudukan terhormat di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu sebutan haji di depan nama seseorang yang sudah melaksanakannya menjadi sesuatu yang penting bagi masyarakat tertentu di Indonesia.
Demikian itu sejarah gelar haji di Indonesia.
Kontributor : Mutaya Saroh