Suara.com - Masih banyak masyarakat Indonesia lebih pilih tenun printing dibanding membeli kain tenun asli karya seniman lokal, karena harganya yang terbilang mahal. Kira-kira perilaku ini melanggar aturan tidak ya?
Pemerhati Budaya, Muhammad Sartono atau yang akrab disapa Bang Mamat mengatakan tidak ada yang salah dalam perilaku tersebut. Ini karena dalam sudut pandang fashion, menggunakan tenun printing diwajarkan karena kuncinya padupadan busana.
"Sah-sah aja pakai tenun printing, karena harga bisa lebih minimalis jadi bisa dikombinasikan antara kain tenun asli dan tenun printing," ujar Bang Mamat dalam acara Talkshow Indonesia Flobamorata Fashion In Town (IFFT) di Pasar Pagi Mangga Dua, Jakarta Pusat, Jumat (29/6/2024).
Bang Mamat yang juga tergabung dalam komunitas wastra Berkain mengakui, jika tidak semua masyarakat Indonesia setiap saat mampu membeli kain tenun asli, karena harga per lembarnya yang cukup fantastis mencapai Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per buah.
Baca Juga: Rahasia Brand Sepatu Lokal Cetak Cuan dari Live Streaming: Omzet Meledak Hingga 34 Persen!
Tapi alih-alih membeli kain tenun berukuran panjang dan lebar dengan harga fantastis, untuk mendukung penenun Indonesia bisa hanya sekadar membeli kain berukuran pendek dan kecil, yang bisa digunakan sebagai syal atau obi.
"Nggak mungkin anak muda yang baru belajar berkain dengan wastra Indonesia membeli langsung harga yang mahal. Boleh pakai tenun printing, tapi obinya coba pakai yang asli atau syalnya kain tenun beneran, tapi bajunya bisa kok yang kamuflase," jelas Bang Mamat.
Namun Bang Mamat mengingatkan, jangan sekali-kali menggunakan tenun printing ini dalam acara upacara adat yang berlangsung di masyarakat. Acara yang berkaitan dengan ritual seperti pernikahan, melahirkan, upacara kematian, hingga acara temu keluarga harus menggunakan kain tenun asli yang sudah ditentukan oleh kepala desa setempat.
"Kalau acara ritual beda lagi, itu harus pakai sesuai pakemnya. Contohnya kalau saya lagi di Keraton Jogja, saya nggak akan berani pakai kain batik motif parang, karena itu hanya boleh dipakai oleh keluarga kerajaan," jelas Bang Mamat.
Fakta ini dibenarkan Founder IFFT sekaligus Desainer Kain Tenun, Jumarni Fare, bahwa kain tenun lebih dari sekadar kesenian semata, tapi proses pembuatannya mengandung makna mendalam dan doa sesuai dengan motif, yang dibuat dalam prosesnya yang memakan waktu berbulan-bulan tersebut.
Baca Juga: Transformasi Mengejutkan Lisa BLACKPINK di MV Terbaru Rockstar, Cyberpunk Abis!
"Ternyata proses membuat tenun sangat panjang dan membuatnya diiringi dengan doa. Jadi saat suami menanam dan para Mamak-mamak menenun, jadi mereka berharap dalam proses menenun mereka memanjatkan doa," jelas Jumarni.
Adapun IFFT 2024 merupakan acara yang memperkenalkan tenun NTT dan wastra kepada masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda. Acara ini dihadiri para desainer ternama yang memamerkan koleksi busana dengan menggunakan tenun, batik maupun wastra.
Acara ini juga jadi platform bagi bagi desainer nasional, internasional, dan desainer muda berbakat untuk mengekspresikan kreativitas memperkenalkan, merawat dan menjaga warisan budaya. Termasuk juga berisi pesan pada generasi muda untuk menjaga dan merawat karya seni wastra, khususnya tenun NTT sebagai mahakarya leluhur.
Selain Jumarni dan Bang Mamat, acara ini juga dihadiri sederet tokoh ternama seperti Perwakilan Diaspora NTT Jakarta Polce Ruing, Pemilik Kopi In Town Rudy Wiguna, Pendiri Yayasan Bumi Kasih Nusantara Dr. Ir.Agus Mulyanto, Ph.D, komunitas berkain Indonesia, hingga komunitas Cahayo Hati Limpapeh Sumatera Barat.