Suara.com - Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Seribu Hari Pertama Kehidupan atau (UU KIA) yang disahkan DPR RI dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 pada (4/6/2024) lalu.
Salah satu poin yang menjadi sorotan dalam UU KIA ini yakni pemberian cuti 6 bulan kepada pekerja perempuan. Namun, nyatanya perkara cuti ini masih dinilai rancu pada implementasinya oleh beberapa organisasi dalam Jaringan Masyarakat Sipil (JMS).
Disampaikan oleh perwakilan JMS dari JALA PRT yakni Jumisih, terkait cuti 6 bulan dalam UU KIA dinilai akan sulit untuk diimplementasikan pada pekerja buruh perempuan. Pasalnya, dalam pelaksanaan cuti 3 bulan, hal tersebut sulit dilakukan sebab hubungan kerja yang tak pasti.
“Yang 3 bulan saja sulit diimplementasikan karena sebelumnya itu ada hubungan kerja yang tidak pasti. Itu kaitannya dengan status hubungan kerja yaitu buruh kontrak, borongan, harian lepas, yang buruh perempuan masuk,” ucap Jumisih dalam konferensi pers JMS Kebijakan Adil Gender secara daring, Sabtu (29/6/2024).
Menurutnya, hubungan kerja yang tak pasti para buruh perempuan yang tidak pasti itu membuat sulit mengakses hak cuti. Hal ini sama saja aturan cuti 6 bulan dalam UU KIA itu tidak bisa berlaku.
Pihaknya dan beberapa organisasi peduli perempuan lainnya mengaku senang adanya UU KIA dan visi yang ingin dicapai. Namun, menurutnya pemerintah juga harus bisa memikirkan implementasi aturan tersebut terhadap buruh perempuan yang hubungan kerjanya tidak pasti.
“Itulah yang kemudian menjadi pertanyaan saat UU KIA ini diketuk palu bagaimana implementasinya Kami apresiasi pemerintah mengesahkan UU ini sebagai wujud pembelaan dan perlindungan kepada buruh perempuan dan anak, tetapi kita juga ingin mengkritisi bagaimana nasib kami sebagai buruh perempuan,” tegasnya.
Bukan hanya itu, adanya cuti 6 bulan ini juga dinilai dapat menyingkirkan perempuan dalam industri kerja. Menurutnya, aturan ini seolah-olah membuat tugas perawat anak itu tanggung jawab perempuan. Padahal, dalam hal perawatan seharusnya bukan hanya dibebankan kepada perempuan.
“Ini juga berpotensi menyingkirkan buruh perempuan masuk ke dalam area industrialisasi, area publik. Karena seolah-olah dalam pelaksanaannya untuk perawat anak itu seolah-olah menjadi tanggung jawab perempuan sehingga beban perawatan dibebankan kepada perempuan,” katanya.
Sebab hal itu, dari pihak JMS sendiri menyampaikan beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat menjadi pertimbangan pemerintah. Beberapa rekomendasi tersebut di antaranya:
1. Melakukan harmonisasi UU KIA dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan kesejahteraan ibu dan anak, seperti : UU Kesehatan, UU Perkawinan, UU Administrasi Kependudukan, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan perundang-undangan lainnya termasuk aturan turunannya agar tidak saling tumpang tindih satu sama lain;
2. Membuat peraturan pelaksanaan UU KIA untuk menjamin terciptanya lingkungan yang ramah ibu dan anak secara transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat sipil paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
3. Membuat Peraturan Presiden untuk membangun mekanisme koordinasi Kementerian/Lembaga Negara lintas sektor dan pemerintah daerah yang jelas dan terintegrasi;
4. Kementerian Ketenagakerjaan berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan fungsi pengawasan ke perusahaan-perusahaan agar patuh menjalankan kewajiban yang diatur dalam UU KIA dan tidak memberhentikan buruh perempuan yang mengambil cuti melahirkan, serta memastikan tersedianya fasilitas layanan ramah ibu dan anak di tempat kerja dan fasilitas publik, antara lain melalui penyediaan : (1) Ruang laktasi yang higienis dengan fasilitas yang layak dan mudah di akses; (2) Tempat penitipan anak (daycare) dengan fasilitas yang memadai serta tenaga yang kompeten dan berpengalaman, serta (3) Penyediaan ruang bermain ramah anak yang layak;
5. Membuat langkah tindak afirmasi lain untuk mendukung perlindungan dan pemenuhan hak maternitas perempuan sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 7/ 1984 tentang ratifikasi Konvensi CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) dengan menciptakan lingkungan yang kondusif, antara lain melalui penyediaan gizi seimbang gratis bagi ibu hamil atau ibu yang memiliki balita dari keluarga miskin dan pemberian insentif bagi perusahaan yang melaksanakan kewajibannya;
6. Memastikan peran serta organisasi masyarakat sipil, khususnya organisasi/serikat buruh yang memiliki paralegal untuk melakukan pendampingan secara hukum bagi buruh perempuan terkait pemenuhan hak yang diatur dalam UU KIA.