Suara.com - Rumah pensiunan untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sebentar lagi akan habis masa jabatannya diketahui mulai dibangun. Adapun lokasi tempat tinggal tersebut berada di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Aset berupa rumah itu memang salah satu hak bagi mantan presiden yang wajib diberikan negara. Ini tertuang dalam UU No. 7 tahun 1978 dan standarnya pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK06/2022.
Para pemimpin RI sebelum Jokowi juga diberikan hak tersebut ketika pensiun. Namun, tidak semuanya menerima, seperti presiden ke-4, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Lantas, apa alasannya menolak rumah itu?
Alasan Gus Dur Tak Terima Rumah Pensiun dari Negara
Gus Dur mulai menjadi Presiden RI melalui Pemilu tahun 1999 hingga pemakzulannya dilakukan pada 2001. Posisinya tersebut digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Selain itu, Gus Dur juga dikenal sebagai pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sebagai mantan presiden RI, Gus Dur juga diberikan hak rumah pensiun dari negara. Namun, ia menolak saat akan dibangunkan rumah mewah yang diketahui berada di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.
Adapun alasannya, karena tidak ingin memiliki rumah mewah. Keputusannya itu sesuai dengan wataknya yang sederhana dan dermawan. Ia lebih memilih menerima uang tunai yang setara dengan penganggaran rumah pensiun itu.
Gus Dur juga beralasan sudah memiliki rumah pribadi di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan, sehingga menolak hak tersebut. Ia pun meminta uang tunai sebesar Rp20 miliar sebagai ganti pembangunan rumah negara.
Uang itu digunakan Gus Dur untuk membangun pondok pesantren dan lembaga kajian keislaman. Pembangunannya pun memiliki tujuan, yakni agar ia beserta keluarga dapat lebih dekat dengan para jemaahnya.
Baca Juga: PAN Sebut Wajar Kaesang Mau Maju Pilkada, Tapi Tak Tahu soal Jokowi sampai Sodorkan Nama
Namun, pemerintah tidak mengabulkan keinginan Gus Dur. Maka, tersiar kabar pada 2008 bahwa ia berniat menjual rumah yang luas lahannya sekitar 2.000 meter persegi itu dengan harga lebih tinggi, yakni Rp50 miliar.
"Gus Dur memilih mengambil uang dari pada rumah. Pak Hamzah Haz sudah mengambil rumah," kata Hatta Rajasa, Mensesneg saat itu, di Istana Negara, Jakarta, 15 April 2008.
Aturan Pemberian Rumah Pensiun untuk Mantan Presiden
Aturan hak pemberian rumah itu mulanya lahir pada masa pemerintahan Soeharto yakni UU Nomor 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden serta Bekas Presiden dan Wakil Presiden.
UU itu disempurnakan dalam Keputusan Presiden Nomor 81 Tahun 2004 tentang Pengadaan Rumah bagi Mantan Presiden dan atau Mantan Wakil Presiden RI dan diubah lagi ke Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2007.
Aturan tersebut kembali diganti dalam Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2014. Perubahan ini sekaligus memperjelas pengaturannya yang ada di Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Penggantian itu adalah penyempurnaan dari undang-undang atau peraturan sebelumnya yang dinilai masih belum rinci. Namun, secara garis besar, hak rumah diperuntukkan bagi mantan presiden dan wakil presiden.
Tepatnya yang telah menyelesaikan masa jabatannya atau berhenti secara hormat. Pemberian hak berupa rumah tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk penghormatan atau balas jasa dari negara untuk para pemimpin.
Tak hanya itu, ada hak-hak lain yang juga diberikan negara kepada mantan presiden dan wakilnya. Mulai dari pemberian fasiltas kendaraan pribadi beserta sopir serta tunjangan perawatan rumah dan kesehatan.
Mantan presiden RI yang menolak rumah pensiun itu ternyata bukan hanya Gus Dur. Ada pula presiden ke-2, Soeharto yang meminta sebuah rumah dengan lokasi di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.
Eks Mensesneg Yusril Ihza Mahendra menceritakan Soeharto ingin menggunakan rumah tersebut untuk membangun rumah sakit. Tempat ini merupakan impian Siti Hartinah (Tien Soeharto), mendiang istrinya.
Yusril tak bisa mengabulkan permintaan itu karena rumah yang dimaksud bernilai Rp75 miliar. Sementara jatah anggaran rumah pensiun yang diberikan untuk setiap mantan presiden RI hanya sebesar Rp20 miliar.
Sebulan kemudian, Soeharto memanggil Yusril yang rupanya sudah berubah pikiran. Kali ini, ia dikatakan tidak lagi bersikukuh meminta rumah Rp75 miliar itu dan hanya meminta uang tunai atas hak rumah pensiun.
Kontributor : Xandra Junia Indriasti