Suara.com - Sosok Halilintar Anofial Asmid menjadi perhatian saat lamaran Thariq Halilintar dan Aaliyah Massaid. Hal ini karena dia memprotes pengabaian gelar "Haji" anaknya selama acara berlangsung.
Pada saat itu, pembawa acara beberapa kali bertanya tentang maksud dan tujuan kunjungan Thariq Halilintar dan keluarganya ke keluarga besar Reza Artamevia. Thariq menjelaskan bahwa dia berniat melamar putri Reza, Aaliyah Massaid.
Pembawa acara kemudian mempersilakan perwakilan dari keluarga Thariq, Atta Halilintar, untuk secara resmi menyampaikan maksud kedatangan mereka. Namun, pembawa acara hanya menyebut nama Atta tanpa menyertakan gelar "Haji," meskipun Atta dan istrinya baru saja pulang dari ibadah haji.
Menanggapi hal ini, Halilintar Anofial Asmid segera mengoreksi pembawa acara, mengingatkan untuk tidak lupa menyebutkan gelar "Haji" di depan nama anak pertamanya.
"Pak haji, pak haji lupa," tegur ayah Atta Haalilintar pada pembawa acara.
"Oh iya bapak haji Atta Halilintar. Semoga hari ini bawa air zam zam juga ya mas," ralat pembawa acara.
Lantas, apakah gelar haji wajib disematkan?
Dikutip dari Kementerian Agama, Filolog Oman Fathurahman, atau Kang Oman, yang juga Staf Ahli Menteri Agama, menjelaskan bahwa perjalanan haji bagi orang Nusantara dulu merupakan perjuangan berat.
Mereka harus menyeberangi lautan, menghadapi badai berbulan-bulan, menghindari perompak, dan menjelajah gurun pasir. Orang yang berhasil pulang dengan selamat dianggap mendapat kehormatan besar, mengingat Ka'bah dan Mekkah adalah tempat suci umat Islam.
Baca Juga: Mengintip Isi Suvenir Lamaran Thariq Halilintar dan Aaliyah Massaid, Harga Mangkoknya Ceban Doang?
Inilah mengapa di Indonesia, pemberian gelar "haji" atau "hajjah" setelah menunaikan ibadah haji menjadi lazim. Antropolog Dadi Darmadi dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menambahkan, tradisi ini juga ada di negara-negara Melayu lainnya seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand Selatan. Di Mesir Utara, rumah jemaah haji bahkan dilukis dengan gambar Ka'bah dan moda transportasi ke Mekkah.
Bagi sebagian masyarakat Indonesia, gelar haji mencerminkan status sosial tertentu dan dianggap penting serta membanggakan. Menurut Dadi, tradisi ini dapat dilihat dari tiga perspektif:
- Keagamaan: Haji adalah perjalanan untuk menyempurnakan rukun Islam, yang memerlukan usaha besar dan biaya mahal. Karena itu, gelar haji dianggap layak diberikan kepada mereka yang berhasil melakukannya.
- Kultural: Cerita-cerita heroik dan mengharukan tentang perjalanan haji telah berkembang dan menjadi populer, menarik lebih banyak orang untuk menunaikan ibadah haji. Banyak tokoh masyarakat yang juga bergelar haji, menambah nilai dan status sosial gelar ini.
- Kolonial: Pemerintah kolonial Belanda dulu berusaha membatasi jemaah haji karena takut akan pengaruhnya terhadap gerakan anti-penjajahan. Mereka mengharuskan jemaah menggunakan gelar dan atribut haji agar mudah diawasi.
Oman, yang juga Pengendali Teknis Ibadah Haji Kementerian Agama 2019, menambahkan bahwa gelar haji seharusnya tidak merusak keikhlasan berhaji.
"Ciri haji mabrur adalah menjadi orang yang ikhlas dan selalu berbuat baik, menebar kedamaian, baik saat maupun setelah menunaikan ibadah haji," pungkasnya.