Suara.com - "Dapat hak cuti melahirkan 6 bulan, tapi malah jadi pertimbangan perusahaan tempat kerja, bisa diberhentikan kapan saja," ujar Lilis Suryani (29) yang saat ini masih berstatus karyawan kontrak di salah satu rumah sakit Bekasi, Jawa Barat.
Pernyataan ini hanya satu dari beberapa ketakutan karyawan perempuan, yang khawatir kariernya terhambat karena cuti melahirkan ditambah dari 3 bulan menjadi 6 bulan.
Meskipun, hak ini sudah dijamin melalui Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak alias UU KIA yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 4 Juni 2024 lalu.
Cerita Tiara Sutari (30) juga tidak kalah menarik, karyawan swasta di Jakarta yang sedang menjalani program hamil ini mengaku dapat perlakuan kurang mengenakan saat sesi wawancara kerja. Ia mendapat respon yang bertolak belakang saat membahas rencananya punya momongan.
Baca Juga: Bye-bye Fatherless Country! CEO Ini Beri Cuti Ayah 40 Hari Demi Bangun Ikatan Dengan Anak
"Beberapa kali wawancara kerja, terus ditanya 'Sudah punya anak belum?' Belum. Terus ditanya 'Rencana punya anak dalam waktu dekat?' Ketika jawaban aku 'Nggak', mereka langsung 'Oke, fine'," cerita Tiara.
"Tapi ada juga waktu aku bilang, ke depannya ada niat sih buat punya anak. 'Oh gitu', jadi responnya agak negatif. Gitulah, terasa beda," sambung dia.
Ada beragam dugaan cuti melahirkan 6 bulan berpotensi menjegal karier karyawan perempuan. Tak sedikit yang berprasangka kalau kebijakan ini dianggap menambah beban perusahaan, karena artinya mereka diwajibkan tetap membayar penuh 4 bulan gaji karyawan perempuan yang melahirkan, dan 2 bulan terakhir diberikan upah 75 persen dari gaji.
Ketua Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Myra M. Hanartani, mengungkap bahwa perusahaan bakal memastikan produkvitas bisnisnya harus tetap berjalan, dengan ada atau tidaknya karyawan perempuan yang menjalani cuti melahirkan 6 bulan.
Hanartani mengatakan setelah UU KIA yang berisi aturan cuti melahirkan 6 bulan disahkan, pihaknya belum mendapat syarat rinci kondisi karyawan perempuan yang berhak atas cuti tersebut.
"Harus ada arahan yang jelas, kondisi seperti apa perempuan berhak lagi atas 3 bulan cuti tambahannya. Itu kan harus jelas di dunia usaha, karena mereka (pengusaha) yang harus membayar itu nanti,” jelas Hanartani.
Alih-alih diberikan tanpa syarat, nyatanya cuti melahirkan 6 bulan ini hanya bisa diberikan kepada perempuan dengan kondisi khusus, seperti adanya komplikasi kesehatan ibu atau anak, maupun keduanya.
Syarat khusus ini dibenarkan Plt Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Indra Gunawan, bahwa kondisi komplikasi kesehatan ini harus dibuktikan dengan surat dokter.
Tidak cukup dengan surat dokter, kata Indra, nantinya juga ada aturan kriteria komplikasi ibu pekerja yang berhak mendapat cuti melahirkan 6 bulan.
"Kalau kita lihat undang-undang ini justru melindungi. Ini beri perlindungan kepada ibu pekerja dan anak, ini yang perlu kita sampaikan ke dunia usaha," klaim Indra.
Perusahaan Ini Beri Cuti Melahirkan 6 Bulan dan Cuti Ayah Sebelum UU KIA Disahkan
Tidak perlu menunggu UU KIA disahkan dengan sederet syarat rumitnya, CEO Opal Communication, Kokok Herdhianto Dirgantoro, ternyata sudah selangkah lebih maju dibanding pemerintah maupun mayoritas perusahaan Indonesia lainnya.
Tak main-main, Kokok memberikan cuti melahirkan 6 bulan untuk semua karyawan perempuannya tanpa syarat njelimet. Itu artinya, Kokok memberikan cuti cuma-cuma lengkap dengan upah setengah tahun penuh dan tanpa potongan.
Hebatnya, kebijakan cuti melahirkan 6 bulan ini tidak menganggu operasional perusahaan. Bahkan secara tidak langsung, keleluasaan ini malah meningkatkan loyalitas karyawan terhadap perusahaannya.
“Sebagai catatan, kebijakan cuti melahirkan tidak hanya bertujuan meningkatkan loyalitas. Tujuan lainnya adalah agar karyawati bisa fokus recovery fisik dan mental pasca melahirkan, dapat lebih rileks sehingga produksi ASI lebih lancar dan membangun komunikasi nonverbal dengan bayi sedini mungkin,” ungkap Kokok.
Kebijakan humanis Kokok ini juga berlanjut dengan fasilitas cuti ayah selama satu bulan dan digaji penuh. Apalagi peran suami cukup vital saat dampingi istri melahirkan dan bantu rawat bayi baru lahir.
Lagi-lagi, kondisi ini sangat kontras dengan UU KIA yang hanya memberikan cuti melahirkan untuk ayah selama dua hari, ditambah tiga hari bila dibutuhkan.
Diakui para pekerja perempuan, di luar cuti melahirkan yang cukup, mereka pun sesungguhnya teramat membutuhkan peran suami di bulan pertama pascapersalinan. Itu sebabnya, tak sedikit suara yang mendukung adanya pemberian cuti ayah, agar peran suami bisa maksimal untuk mendampingi istri dan membantu rawat anak.
Kisah karyawan lelaki di PT Opal Communication, Isro Kurniawan, mungkin bisa jadi inspirasi karena ia termasuk salah satu yang beruntung mendapat cuti melahirkan untuk ayah selama sebulan penuh. Menurut pengakuannya, untuk memastikan cuti ayah yang diberikan tepat guna, selama waktu cuti tersebut, perusahaan akan menelepon sang istri pada waktu-waktu tertentu untuk memastikan dirinya memang benar terlibat membantu dan mengurus buah hati.
"Satu bulan saja saya ikut membantu istri menjaga anak ternyata capek juga. Selama saya satu bulan di rumah ikut membantu istri mandiin (anak), ganti popok, dan sebagainya. Biasanya mungkin dulu itu tugas istri aja. Ternyata setelah 1 bulan juga banyak yang harus dikerjakan," ungkap Isro.
Respon Penuh Harap Karyawan Perempuan Soal Cuti Melahirkan 6 Bulan
Mendapat fasilitas cuti melahirkan 6 bulan, nyatanya tidak menjamin karyawan perempuan sehat emosional saat merawat bayi baru lahir. Psikolog Klinis, Ikhsan Bella Persada berkata bahwa ibu menyusui bisa mengalami frustasi jika suami tidak mau terlibat mengurus buah hatinya.
"Yang bikin ibu baru stres juga karena kurangnya keterlibatan suami dalam pengasuhan, yang mana di awal pasca melahirkan, ibu butuh banget support dari pasangan baik secara fisik ataupun emosional," jelas Ikhsan.
Hal ini seolah membuktikan bahwa wacana cuti melahirkan 6 bulan tidak bisa berdiri sendiri, sehingga alangkah baiknya jika cuti ayah pun bisa menjadi pertimbangan ke depannya.
Di sisi lain, penambahan cuti melahirkan ini memang jadi kesempatan bagi para ibu untuk dapat memberi ASI eksklusif selama 6 bulan kepada anaknya. Karena diketahui, kecukupan gizi di 1.000 hari pertama kehidupan berperan penting dalam mencegah stunting.
Namun syarat rumit yang dibuat pemerintah, mengikis harapan tersebut. Ini karena artinya, tidak semua karyawan perempuan berhak atas cuti melahirkan 6 bulan. Inilah sebabnya, Tiara berharap cuti diberikan cuma-cuma.
"Jadi benar-benar 6 bulan, karena di UU dibilang 6 bulan ini dengan syarat, kalau misalkan sakitlah atau ada gangguanlah segala macam. Maunya itu nggak berlaku, jadi benar-benar 6 bulan," kata Tiara menggebu-gebu.
Catatan lain, Tiara juga berharap cuti melahirkan 6 bulan bukan jadi alasan semua pengasuhan dan perawatan anak diserahkan kepada perempuan, melainkan tetap butuh keterlibatan suami sebagai ayah.
"Kita sebagai ibu, sebagai perempuan ngurus anak sendiri, sementara suami harus kerja per 3 hari doang, itu agak berat. Harusnya yang ngurus anak bukan cuma perempuan doang tapi suami juga ikut ngebantuin, minimal nemenin. Jadi cuti buat suami 2 minggulah udah ngebantu banget," pungkas Tiara.