"Peluru tajam?" tanya Pandji.
"Peluru tajam lah masa peluru nggak tajam," jawab Anies.
"Harusnya nggak boleh kan? Itu bisa jadi bukti untuk sidang lain lagi itu," kata Pandji. Pernyataan ini merujuk ke peraturan larangan penggunaan senjata api. Bahkan anggota kepolisian sekalipun dilarang membawa senjata api dan peluru saat mengamankan aksi unjuk rasa.
"Ada itu semua barang di situ," Anies melanjutkan ceritanya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menceritakan upayanya mencarikan orang tua korban konflik dengan mengandalkan koordinasi pimpinan daerah hingga RT/RW.
"Saya datangi ke rumahnya, saya harus temui orang tuanya. Dan ada tuh satu kasus yang anaknya di kamar jenazah dua-tiga hari nggak ditemukan orang tuanya. Nyari kita orang tuanya, RT/RW disuruh nyari apa ada anaknya yang belum pulang. Ketemu, saya bagian yang ngabari orang tuanya," ungkap Anies.
"Saya datang ke ibunya menjelaskan, waduh," Anies mengaku perasaannya campur aduk kala memberitahukan berita duka itu ke orang tua korban.
Tak hanya itu, sebagai Gubernur saat itu Anies juga bertanggung jawab untuk mencegah meluasnya konflik. Ia menceritakan upayanya menahan amarah warga yang salah satu anggotanya jadi korban.
"Terus ada satu ya tempatnya di Glodok di depan jembatan di arah baratnya Glodok. Itu saya datang, ratusan motor ojek sudah di situ karena ayahnya pengemudi ojek. Orang marah di situ. Datang itu suasana orang marah dan saya datang atas nama negara, di situ tidak ada petugas siapapun," tutur Anies.
Baca Juga: Anies Baswedan Belajar dari Kekalahan di MK: Ditolak Tapi Terasa Seperti Menang
Dalam penuturannya, Anies mendatangi kawasan itu sendirian tanpa pengawasan khusus dan pimpinan-pimpinan daerah lainnya.