Trauma Konflik 5 Tahun Lalu, Anies Ogah Panaskan Sengketa Pilpres: Yang Ngrasain Tembakan Rakyat, Bukan Pejabat

Farah Nabilla Suara.Com
Rabu, 19 Juni 2024 | 14:01 WIB
Trauma Konflik 5 Tahun Lalu, Anies Ogah Panaskan Sengketa Pilpres: Yang Ngrasain Tembakan Rakyat, Bukan Pejabat
Anies Baswedan dan Pandji Pragiwaksono. [Tangkapan Layar Youtube Pandji Pragiwaksono]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Anies Baswedan mengungkap perasaannya setelah sengketa Pilpres 2024 selesai. Ia mengaku tak ingin memperpanjang masalah karena tidak ingin konflik di sengketa Pilpres 2019 terulang lagi.

"Selama proses Sidang MK, yang muncul di kepala saya itu flasback lima tahun lalu, Pandji," kata Anies Baswedan dilansir Suara.com dari Youtube Pandji Pragiwaksono, Rabu (19/6/2024).

Dalam talkshow bertajuk Skakmat itu, Anies menceritakan betapa mencekamnya Jakarta saat konflik pecah ketika sengketa Pilpres 2019. Kala itu Prabowo Subianto menggugat hasil Pilpres yang memenangkan Joko Widodo sebagai presiden kedua kalinya.

"Kan lima tahun lalu juga ada sengketa. Nah lima tahun lalu itu saya bertugas jadi Gubernur di Jakarta. Apa kemudian yang harus saya kerjakan di Jakarta? Ngurusin korban konflik," kisah Anies.

Baca Juga: Anies Baswedan Belajar dari Kekalahan di MK: Ditolak Tapi Terasa Seperti Menang

Pandji pun mengulas singkat peristiwa kerusuhan yang terjadi di sejumlah titik di Jakarta karena konflik sengketa Pilpres tersebut.

"Ya betul waktu itu ada di Sudirman Thamrin dan sekitarnya," kata Pandji.

Anies melanjutkan ceritanya. Waktu itu ia mendatangi sejumlah korban yang terkena luka dan tembakan di rumah sakit untuk mencarikan orang tua mereka.

"Yang jadi korban benturan itu luka-luka, cedera, dengan segala macam bentuk luka yang nggak enak untuk dilihat, termasuk yang kena tembak. Saya dateng ke rumah sakit, saya datangi juga orangtua-orangtua anak yang meninggal," ungkap Anies.

Anies mengaku ada momen ketika ia mengunjungi rumah sakit ada seorang korban luka tembak yang pelurunya baru saja diambil dokter.

Baca Juga: Wujudkan Keadilan, Heru Budi Buat Formulasi Baru Hitungan PBB di Jakarta

"Di rumah sakit itu, saya lihat lubang di sini, sebelahnya ada mangkok metal isinya peluru itu," kata Anies.

"Peluru tajam?" tanya Pandji.

"Peluru tajam lah masa peluru nggak tajam," jawab Anies.

"Harusnya nggak boleh kan? Itu bisa jadi bukti untuk sidang lain lagi itu," kata Pandji. Pernyataan ini merujuk ke peraturan larangan penggunaan senjata api. Bahkan anggota kepolisian sekalipun dilarang membawa senjata api dan peluru saat mengamankan aksi unjuk rasa.

"Ada itu semua barang di situ," Anies melanjutkan ceritanya.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menceritakan upayanya mencarikan orang tua korban konflik dengan mengandalkan koordinasi pimpinan daerah hingga RT/RW.

"Saya datangi ke rumahnya, saya harus temui orang tuanya. Dan ada tuh satu kasus yang anaknya di kamar jenazah dua-tiga hari nggak ditemukan orang tuanya. Nyari kita orang tuanya, RT/RW disuruh nyari apa ada anaknya yang belum pulang. Ketemu, saya bagian yang ngabari orang tuanya," ungkap Anies.

"Saya datang ke ibunya menjelaskan, waduh," Anies mengaku perasaannya campur aduk kala memberitahukan berita duka itu ke orang tua korban.

Tak hanya itu, sebagai Gubernur saat itu Anies juga bertanggung jawab untuk mencegah meluasnya konflik. Ia menceritakan upayanya menahan amarah warga yang salah satu anggotanya jadi korban.

"Terus ada satu ya tempatnya di Glodok di depan jembatan di arah baratnya Glodok. Itu saya datang, ratusan motor ojek sudah di situ karena ayahnya pengemudi ojek. Orang marah di situ. Datang itu suasana orang marah dan saya datang atas nama negara, di situ tidak ada petugas siapapun," tutur Anies.

Dalam penuturannya, Anies mendatangi kawasan itu sendirian tanpa pengawasan khusus dan pimpinan-pimpinan daerah lainnya.

"Pada masa itu bisa dicek di media online, siapa pimpinan yang ada di situ, nggak ada. Kosong," kata Anies.

"Saya sendiri keliling waktu itu. Saya lihat ibu ayahnya, saya ngomong di megaphone saya ngomong 'saudara-saudara semua kita lihat korban di sini ada satu yang meninggal, jangan ada yang tambah, jangan bikin apapun yang menambah korban. Antarkan jenazah sampai pemakaman sesudah itu pulang, jangan ada yang balas dendam'," kisah Anies.

Dari pengalaman tersebut, Anies lantas membuat peraturan di Jakarta soal penanangan korban konflik politik.

"Kebetulan di Jakarta itu kita bikin atuaran bahwa konflik politik yang membuat orang cedera itu biaya pengobatan ditanggung Pemprov DKI. Kenapa? Ya karena kita Ibukota," kata Anies.

Melanjutkan ceritanya tentang Pilpres tahun ini, Anies mengaku tak ingin memperpanjang masalah sengketa dan memperpanas suasana agar kejadian lima tahun lalu tak terulang.

"Lima tahun kemudian giliran saya yang jadi capres. Ketemu hasil pemilu, ketemu penyimpangan-penyimpangan itu. Apa yang ada benak ini? Haruskah saya berpidato lalu membuat semua membara, lalu berujung konflik lalu crash, mati? Haruskah saya mengambil sikap yang penuh dengan 'mari bergerak, mari lawan'. Apa yang terjadi? Terus sesudah itu ke mana? Yang pernah merasakan tembakan itu nggak ada petinggi-petinggi. Rakyat semua," ungkap Anies blak-blakan.

Dari cerita pengalamannya lima tahun lalu tersebut, Anies lantas membandingkannya dengan Pilpres kali ini yang dinilai jauh lebih kalem bahkan nihil korban konflik.

"Di situ kemudian saya ditakdirkan pindah posisi dari dulu saya menyaksikan di lapangan, lima tahun kemudian saya di posisikan capres. Haruskah peristiwa seperti itu itu terulang lagi? Jangan, kali ini harus nol yang meninggal," pungkas Anies.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI