Suara.com - Kurang dari sepekan, umat muslim seluruh dunia akan merayakan Hari Raya Idul Adha. Selain dirayakan dengan salat Ied saat pagi hari, perayaan itu juga ditandai dengan pelaksanaan pemotongan hewan kurban. Hukum berkurban nagi setiap muslim ialah sunah muakkad.
Hukum sunah ini tentunya ditujukan kepada seorang muslim yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu. Seperti dijelaskan dalam kitab Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi asy-Syuja’, Bairut-Maktab al-Buhuts wa ad-Dirasat.
"Hukum berkurban adalah sunah muakkad yang bersifat kifayah apabila jumlahnya dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari mereka sudah menjalankannya maka sudah mencukupi untuk semuanya jika tidak maka menjadi sunah ain. Sedangkan mukhatab (orang yang terkena khitab) adalah orang Islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu". (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi asy-Syuja’, Bairut-Maktab al-Buhuts wa ad-Dirasat, tt, juz 2, halaman: 588).
Seiring zaman, muncul pandangan mengenai kurban untuk orang yang sudah meninggal dunia. Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath-Thalibin dengan tegas menyatakan tidak ada kurban untuk orang yang telah meninggal dunia kecuali semasa hidupnya pernah berwasiat.
Baca Juga: Download Gratis! Koleksi 45 Gambar Idul Adha 2024 untuk Poster & Story Sosmed
Dikutip dari NU Online, larangan itu nerdasarkan argumen kalaj berkurban merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Karenanya, niat orang yang berkurban mutlak diperlukan. Namun ada pandangan lain yang menyatakan kebolehan berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia, sebagaimana dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Abbadi.
Alasan pandangan ini bahwa berkurban termasuk sedekah. Sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia juga sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.
Di kalangan mazhab Syafii sendiri pandangan yang pertama dianggap sebagai pandangan yang lebih sahihdan dianut mayoritas ulama dari kalangan mazhab Syafii. Kendati pandangan yang kedua tidak menjadi pandangan mayoritas ulama mazhab Syafii, namun pandangan kedua didukung oleh mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali.
Hal ini sebagaimana yang terdokumentasikan dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah sebagai berikut:
"Adapun jika (orang yang telah meninggal dunia) belum pernah berwasiat untuk dikurbani kemudian ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang telah meninggal dunia tersebut dari hartanya sendiri maka mazhab hanafii, maliki, dan hanbali memperbolehkannya. Hanya saja menurut mazhab maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana dalam sedekah dan ibadah haji". (Lihat: Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, Bairut-Dar as-Salasil, juz 5, halaman: 106-107)
Perlu diketahui, hendaknya menjadikan perbedaan pandangan para ulama dalam masalah fikih sebagai rahmat. Jika ingin berkurban untuk orang tua yang telah meninggal dunia, maka berarti mengikuti pendapat ulama yang kedua.