Keluh Kesah Pekerja Gaji Bakal Dipotong Buat Iuran Tapera: Kenapa Rakyat Harus Ikut Patungan?

Selasa, 04 Juni 2024 | 08:35 WIB
Keluh Kesah Pekerja Gaji Bakal Dipotong Buat Iuran Tapera: Kenapa Rakyat Harus Ikut Patungan?
Dokumentasi. Foto udara perumahan di kawasan Majalaya, Karawang, Jawa Barat, Rabu (9/2/2022). ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/wsj. (ANTARA FOTO/Muhamad Ibnu Chazar)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Reza (34) kesal bukan main saat membaca berita upahnya akan dipotong kurang lebih 2,5 persen untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Pasalnya iuran itu akan menambah panjang potongan upahnya tiap bulan. Upah Reza setiap bulan setidaknya telah dipotong untuk tiga hal: pajak penghasilan, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Rencana iuran Tapera jelas hanya akan memberatkan Reza. 

Terlebih setiap bulannya Reza juga masih harus mencicil Kredit Pemilikan Rumahnya sebesar Rp4,5 juta. Di sisi lain, selama kurang lebih lima tahun upahnya juga tidak kunjung naik. Stagnan. 

"Jadi pekerja swasta kaya saya sudah punya rumah gak dapat manfaatnya secara langsung. Buat apa kami dipotong 2,5 persen setiap bulan untuk biayai subsidi rumah orang lain yang harusnya jadi tanggungan negara? Kenapa rakyat harus ikut patungan?" ujar Reza salah seorang pekerja swasta di Jakarta. 

Pekerja melintas di pelican crossing di kawasan Perkantoran Sudirman, Jakarta, Selasa (28/5/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Pekerja melintas di pelican crossing di kawasan Perkantoran Sudirman, Jakarta, Selasa (28/5/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

Keluhan serupa juga diutarakan Chitra. Potongan 2,5 persen untuk iuran Tapera terlalu besar baginya. Terlebih kebutuhan setiap orang berbeda. Alih-alih dipotong untuk iuran Tapera yang tak pasti, Chitra menyebut bahwa besaran itu akan lebih baik disimpan sendiri untuk dana darurat. 

Baca Juga: Akal-akalan Tapera, PDB RI Bisa Jeblok dan Ribuan Pekerja Terancam PHK

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib disebut menjadi peserta Tapera. Mereka wajib bayar simpanan setiap bulan sesuai waktu yang sudah ditetapkan oleh Badan Pengelola (BP) Tapera.

Potongan iuran itu sebesar 3 persen kombinasi dari kontribusi pekerja dan pemberi kerja. Pekerja akan mengiur 2,5 persen sedangkan pemberi kerja sebesar 2,5 persen. Sementara pekerja mandiri mesti merogoh kantong mereka sendiri sebesar 3 persen. 

Pangkal dari kekesalan Reza lantaran manfaat Tapera tidak bisa langsung dirasakan seluruh peserta yang gajinya dipotong setiap bulan. Sebab, ada syarat tertentu bagi penerima manfaat. Pasal 38 ayat 1b dan 1c Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 menyatakan bahwa manfaat Tapera diberikan kepada pekerja berpenghasilan rendah yang belum memiliki rumah.

Backlog Hunian dan Sulitnya Anak Muda Punya Rumah

rumah bersubsidi pemerintah yang disalurkan Bank BTN di kompleks Perumahan Mutiara Puri Harmoni, Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten, Minggu (5/2/2023). [Suara.com/Wawan Kurnia
rumah bersubsidi pemerintah yang disalurkan Bank BTN di kompleks Perumahan Mutiara Puri Harmoni, Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten, Minggu (5/2/2023). [Suara.com/Wawan Kurnia

BP Tapera dalam pernyataannya mengatakan bahwa tujuan program ini adalah menghimpun dana murah jangka panjang untuk membiayai perumahan, sehingga peserta dapat memiliki rumah yang layak dan terjangkau. Kepala Staf Kepresidenan (KSP)  Moeldoko memang menyebut bahwa bahwa ada 9,9 juta warga Indonesia yang belum memiliki rumah. Ia merujuk data dari Badan Pusat Statistik. 

Baca Juga: Tapera Akan Dihapus saat Prabowo Subianto Resmi Jadi Presiden? Begini Faktanya

Problem kesenjangan kepemilikan hunian ini diprediksi KSP juga semakin besar karena rata-rata harga properti per tahun naik 10 persen -15 persen, sementara kenaikan gaji pekerja tidak linier dengan kenaikan harga properti.

Dalam sebuah survei berjudul Young adults and homeownership in Jakarta, Indonesia, peneliti dari University of New South Wales menemukan setidaknya ada dua hambatan utama yang menghalangi kaum muda dewasa di Jakarta untuk punya rumah, yakni harga rumah yang tidak terjangkau dan pendapatan yang tidak cukup. 

Terbatasnya pasokan tanah dan perumahan serta pertumbuhan jumlah penduduk ditengarai yang bikin harga rumah di Jakarta melejit. Situasi ini membuat kepemilikan rumah semakin sulit. Pada 2019, tingkat kepemilikan rumah di Indonesia rata-rata 80,07%, namun di Jakarta hanya 48,33%. Ini adalah rasio terendah dibandingkan kota lain, seperti Banten dan Jawa Barat yang memiliki persentase di atas 80%.

Reza bahkan terpaksa mengambil hunian di pinggiran Jakarta, lantaran harga rumah di pusat ibukota sudah tidak tergapai. Meski itu artinya ia mesti menebusnya dengan dengan jarak dari rumah ke kantor sekitar 25 kilometer satu kali tempuh. 

"Di Tangerang Selatan aja yang paling dekat dengan transportasi umum, kita waktu itu sempat survei di Pondok Cabe, sudah Rp1 miliaran yang dapat akses transportasi umum. Makanya kenapa pilih Cinangka, Sawangan, Depok memang harganya lebih murah, meski agak jauh (dari akses transportasi umum)," cerita Reza. 

Situasi tadi yang menurut Perencana Keuangan, Safir Senduk membuat makin banyak orang kini tidak ingin punya hunian sendiri. Mereka cenderung memilih untuk sewa.

"Jadi mereka lebih mengedepankan fungsi, anak muda zaman sekarang realistis karena memang sewa lebih murah dibandingkan harus membeli. Hal ini juga berlaku terhadap tempat tinggal," jelas Safir.

Bisakah Tapera Jadi Solusi Hunian Anak Muda?

Pekerja melintas di kawasan Perkantoran Sudirman, Jakarta, Selasa (28/5/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Pekerja melintas di kawasan Perkantoran Sudirman, Jakarta, Selasa (28/5/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

Dikutip dari ANTARA, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyatakan bahwa iuran Tapera belum tentu efektif mengatasi masalah backlog perumahan di Indonesia. 

Meskipun kewajiban iuran ini telah berjalan sejak 2018, belum ada bukti bahwa masalah backlog terselesaikan. Bahkan, meski Bank Tabungan Negara (BTN) mendapat suntikan modal besar pada 2023 untuk membantu kepemilikan rumah, namun backlog masih tinggi.

Manfaat bagi peserta yang tidak mengambil program Tapera juga minim. Peserta yang tidak mengambil rumah pertama akan dirugikan jika tingkat pengembalian tidak optimal. Huda menyarankan bahwa dana iuran Tapera lebih baik diinvestasikan sendiri oleh peserta untuk menghindari biaya peluang yang hilang.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) sepakat menolak aturan Tapera. Mereka mendesak pemerintah mengkaji ulang implementasinya. 

Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, menilai bahwa Peraturan Pemerintah No.21/2024 duplikasi dari program JHT BP Jamsostek dan mengusulkan agar Tapera bersifat sukarela bagi pekerja swasta. 

Mereka berharap pemerintah lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan untuk program MLT perumahan. Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban, juga meminta agar pasal 7 diubah menjadi sukarela, karena Tapera tidak menjamin cukupnya upah buruh untuk mendapatkan rumah saat pensiun, terutama dengan sistem kerja kontrak yang fleksibel. KSBSI menganggap Tapera tidak mendesak dan menyarankan agar menabung di Tapera bersifat sukarela.

Psikolog klinis Veronica Adesla menjelaskan bahwa menabung lebih mudah bagi orang yang memiliki tujuan dan prioritas tertentu. Menabung bisa sulit jika tujuan tersebut bukan prioritas utama, dan hanya bisa dilakukan setelah kebutuhan pokok terpenuhi.

Menabung untuk hal-hal seperti rumah membutuhkan pertimbangan karena biayanya besar. Namun, orang yang sudah berkeinginan membeli rumah tidak akan mudah goyah meskipun ada atau tidaknya program Tapera. Veronica juga menyatakan bahwa wajar jika masyarakat memiliki banyak pertanyaan tentang manfaat dan penggunaan dana Tapera.

Reporter: Lilis Varwati, Fajar Ramadhan, Dini Afrianti

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI