Teman Tuli Cerita Beratnya Jadi Perempuan Disabilitas di Indonesia, Diskriminasi dan Patriarki!

Jum'at, 31 Mei 2024 | 22:23 WIB
Teman Tuli Cerita Beratnya Jadi Perempuan Disabilitas di Indonesia, Diskriminasi dan Patriarki!
Teman Tuli sekaligus Co-Founder FeminisThemis, Nissi Taruli Felicia. (Suara.com/Dini Afrianti)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Teman Tuli, Nissi Taruli Felicia, bercerita beratnya menjadi perempuan disabilitas tinggal di Indonesia. Ini karena melekatnya budaya patriarki yang sudah memberatkan perempuan, dan keadaan diperparah dengan kondisi disabilitas seperti tuli.

Nissi yang juga Co-Founder FeminisThemis mengatakan bahwa di Indonesia masih banyak anggapan perempuan tidak perlu sekolah tinggi S1, S2, atau S3, karena dinilai hanya akan berakhir mengurus rumah tangga.

Bahkan yang hanya disoroti, perempuan wajib bersikap sopan, padahal itu merupakan perilaku dan etika yang sangat umum dan harus dimiliki semua orang tanpa memandang jenis kelamin.

"Karena perempuan itu harus sopan, dan tidak boleh keluar malam-malam," ujar Nissi dalam acara peluncuran FeminisThemis Academy 2024 oleh Unilever Indonesia di Jakarta beberapa waktu lalu.

Lahir sebagai perempuan di Indonesia, kondisinya dirasa sudah cukup berat. Ditambah apabila perempuan tersebut memiliki disabilitas seperti tuna rungu alias sebagai teman tuli, maka mereka akan semakin tertekan.

"Ada diskriminasi secara struktural yang berangkat dari masyarakat, dari kebijakan dan dari keluarga," ungkap Nissi.

Mirisnya, sebagai orang yang kerap berbicara dan bertemu dengan para anggota komunitas tuli, Nissi kerap mendapati banyak teman tuli yang disembunyikan oleh orang tuanya.

Kondisi ini, menurut Nissi, menunjukan tidak banyak orang yang tahu tentang pentingnya bahasa isyarat, yang memungkinkan teman tuli 'hidup normal' karena sudah mengerti bahasa dan cara berkomunikasi efektif.

"Banyak keluarga yang sembunyikan anak mereka yang tuli, agar orang lain tidak mengetahui keberadaan anak mereka yang tuli. Mereka tidak ada paparan bahasa isyarat, padahal kalau orang tua bisa berbicara (isyarat), anak tuli mereka akan sukses," pungkas Nissi.

Baca Juga: Masih Sering Diabaikan, Ini Alasan Pentingnya Fasilitas Disabilitas dan Program Sustainable di Hotel!

Bahasa isyarat adalah bahasa yang mengutamakan komunikasi manual, bahasa tubuh, dan gerak bibir. Bahasa isyarat merupakan bahasa yang digunakan oleh komunitas tuli untuk berkomunikasi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI