4. RUU akan ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR RI
Sebelumnya, Komisi I DPR RI telah mengirimkan draf RUU Penyiaran kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Selanjutnya, jika disetujui, RUU tersebut akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk ditetapkan sebagai RUU usul inisiatif DPR RI.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Supratman Andi Agtas, menyampaikan bahwa ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan untuk penyempurnaan RUU tentang Penyiaran yang diusulkan Komisi I DPR RI. Menurutnya, RUU tersebut tidak memiliki masalah dan sudah sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Penolakan Dewan Pers
Dewan Pers dengan tegas menolak revisi Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 karena tanggung jawab penyelesaian sengketa jurnalistik dialihkan ke Komisi Penyiaran Indonesia. Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam konferensi pers menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa pers itu akan ditangani oleh lembaga yang sebenarnya tidak memiliki mandat untuk menyelesaikan masalah etik jurnalistik. Selain itu, Ninik juga sempat menjelaskan bahwa dalam Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, sangat jelas disebutkan bahwa sengketa pers ditangani oleh Dewan Pers.
Kemudian, penolakan Dewan Pers juga didasarkan pada adanya pasal yang melarang penayangan karya jurnalistik investigasi. Penolakan ini juga terkait dengan proses revisi UU Penyiaran yang dinilai melanggar aturan karena tidak melibatkan insan pers dan masyarakat secara luas.
Penolakan AJI Indonesia
Sebagaimana dilansir dari berbagai sumber, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menolak revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran yang sedang diajukan di DPR RI. Bayu Wardhana selaku Pengurus Nasional AJI Indonesia mengatakan bahwa AJI menolaknya karena banyak ketentuan yang problematik. Jika dipaksakan, tentunya akan menimbulkan berbagai masalah.
Selain itu, Bayu Wardhana juga menyarankan bahwa jika revisi UU tersebut diperlukan, sebaiknya dilakukan oleh anggota DPR di masa mendatang daripada mereka yang menjabat saat ini. Alasannya, karena waktu yang tersisa hanya beberapa bulan lagi, dan membutuhkan diskusi yang lebih mendalam. Bayu mengutip beberapa pasal yang dianggap dapat menghambat kebebasan pers di Indonesia, termasuk pasal 56 ayat 2 poin c, yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Lebih lanjut, dia juga sempat menyebut bahwa ada potensi tumpang tindih kewenangan dalam penyelesaian sengketa jurnalistik antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers. Ini terlihat pada pasal 25 ayat q yang menangani sengketa khusus di bidang penyiaran, dan pasal 127 ayat 2 yang menetapkan penyelesaian sengketa terkait kegiatan jurnalistik penyiaran oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Menkominfo Beri Klarifikasi
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, ikut mengkritik larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang tercantum dalam draf Revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2022. Menurutnya, pembatasan tersebut tidak sesuai dengan prinsip perkembangan jurnalisme yang dinamis.
Dalam pembahasan di DPR RI, draf Revisi UU Penyiaran menimbulkan perdebatan terutama terkait larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Pasal 56 ayat 2, selain memberikan pedoman tentang kelayakan isi siaran dan konten, Standar Isi Siaran (SIS) juga mencantumkan berbagai larangan, termasuk penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, materi terkait narkotika, alkohol, perjudian, rokok, kekerasan, elemen mistis, perilaku LGBTQ, pengobatan alternatif, serta beberapa larangan lainnya.
Baca Juga: AMSI Tolak RUU Penyiaran: Kalau Dilanjutkan DPR Akan Hadapi Komunitas Pers
Demikianlah rangkuman poin pasal kontroversi di RUU Penyiaran yang ditolak berbagai pihak.