Suara.com - Di tengah upaya memahami kompleksnya hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP28 di Uni Emirat Arab (UAE), banyak masyarakat yang berada di garis terdepan perubahan iklim kalah suara dengan pelaku industri bahan bakar fosil dan para pencemar utama lainnya yang mendominasi perdagangan global.
Salah satu isu krusial yang kurang tersorot adalah pengenalan Transisi Berbasis Responsif Gender yang Adil dan Kemitraan Aksi Iklim sebagai bagian dari KTT COP28 dalam rangka Hari Kesetaraan Gender.
Dalam konferensi megah tersebut yang digelar di Dubai Exhibition Centre, UAE, hanya 68 negara yang bersuara mendukung hubungan intrinsik antara kesetaraan gender dan transisi iklim yang adil.
Ini menjadi sebuah ironi mengingat laporan UN Women yang dirilis pada konferensi tersebut memperkirakan “pada tahun 2050, perubahan iklim akan mendorong lebih dari 158 juta perempuan dan anak perempuan ke dalam jurang kemiskinan, serta memicu kerawanan pangan terhadap lebih dari 236 juta orang di seluruh dunia”.
Baca Juga: Bawa Kabur Duit Kantor Rp 43 Juta, Pembunuh Wanita Dalam Koper Terancam 15 Tahun Penjara
Saat ini, perempuan adalah kelompok yang paling rentan terdampak krisis iklim. Laporan terbaru dari Dana Kependudukan PBB (UNFPA) menyebutkan bahwa 14 negara yang paling terdampak oleh kerusakan iklim di cenderung memiliki populasi perempuan dan anak perempuan yang rentan terhadap risiko meninggal saat melahirkan, menikah dini, mengalami kekerasan berbasis gender, atau menjadi pengungsi dan tuna wisma akibat bencana.
Untuk memitigasi dan beradaptasi dengan fakta di atas, Transisi Berbasis Responsif Gender dan Kemitraan Aksi Iklim secara tegas berkomitmen mengupayakan transisi iklim yang responsif terhadap gender. Para mitra terkait telah berkomitmen untuk meningkatkan analisis gender dari pendanaan perubahan iklim, mendukung pengumpulan data terpilah berdasarkan jenis kelamin, dan meningkatkan kesempatan kerja yang setara.
Sayangnya, perwujudan visi ini masih jauh dari realita karena masih adanya kesenjangan gender. Menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengenai status perempuan pada sektor pertanian, belum ada upaya substansial yang dilakukan untuk memprioritaskan peluang, kebutuhan, dan keterlibatan perempuan di bidang terkait, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs).
Fakta ini sejalan dengan laporan Indeks Risiko Iklim Global 2021, bahwa sebagian besar negara yang paling terdampak perubahan iklim adalah negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, yang perekonomiannya sangat bergantung pada sektor pertanian dan sistem pangan berbasis pertanian (agri-food).
Dampak perubahan iklim akibat cuaca ekstrem dan fluktuasi suhu Bumi berdampak besar terhadap praktik pertanian global dan hasil panennya, sehingga mengganggu musim tanam tradisional. Antara tahun 2008 dan 2018, bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim menyebabkan kerugian sebesar US$49 miliar di Asia akibat penurunan produksi pertanian dan peternakan.
Baca Juga: Pembunuh Wanita Dalam Koper Di Bekasi: Nikah Maret, Ditangkap 4 Hari Jelang Resepsi
Kekeringan, banjir dan gelombang panas menjadi lebih sering dan intens terjadi, sehingga secara langsung menghambat pertumbuhan tanaman, menyebabkan degradasi tanah dan membahayakan sistem agri-food, termasuk pertanian, perdagangan, kewirausahaan, produksi peternakan, serta pengambilan air dan irigasi.
Kondisi tersebut membuat penduduk pedesaan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, dimana perempuan mendominasi angkatan kerja di bidang pertanian, menanggung dampak yang tidak proporsional dari krisis iklim.