Apa Itu Femisida? Dikaitkan dengan Kisah Vina di Film 'Vina: Sebelum 7 Hari'

Minggu, 12 Mei 2024 | 11:31 WIB
Apa Itu Femisida? Dikaitkan dengan Kisah Vina di Film 'Vina: Sebelum 7 Hari'
Foto Film Vina Sebelum 7 Hari (IMDb)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Istilah femisida muncul diutarakan oleh Komnas Perempuan terkait kisah Vina yang diangkat ke layar lebar "Vina: Sebelum 7 Hari". Adapun film tersebut diangkat berdasarkan kisah nyata perempuan berusia 16 tahun bernama Vina yang ditemukan sebagai korban tewas pembantaian geng motor pada tahun 2016 silam. 

Film tentang remaja asal Cirebon yang meninggal diperkosa dan dibunuh oleh geng motor ini menuai kontroversi hingga dikecam netizen. Lantas apa makna femisida yang disebut oleh Komnas Perempuan? Simak penjelasan berikut ini.

Apa Itu Femisida?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), femisida adalah pembunuhan seorang perempuan oleh laki-laki karena kebenciannya terhadap perempuan. Melansir situs resmi, Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) menjelaskan pengertian femisida menurut Sidang Umum Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Baca Juga: Film Vina Dikecam Netizen, Aktivis Perempuan Ingin Ada Pelajaran Gender di Sekolah

Dijelaskan bahwa femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukkan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya. Oleh karena itu, kasus pembunuhan femisida berbeda dengan pembunuhan biasa karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi. 

Femisida bukanlah kematian pada umumnya melainkan produk budaya patriarkis dan misoginis yang terjadi, baik di ranah privat, komunitas maupun negara. Komnas Perempuan juga memaparkan beberapa faktor penyebab terjadinya femisida antara lain:

- Ketersinggungan maskulinitas
- Marah karena didesak bertanggung jawab atas kehamilan
- Menghindari tanggung jawab materi
- Kecewa ditolak cinta
- Cemburu
- Memaksa pelayanan maupun pemenuhan transaksi seksual
- Konflik rumah tangga dan tidak mau dicerai
- Melakukan perlawanan saat diperkosa dan lainnya.

Kenapa Kasus Vina Disebut Femisida?

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan kisah Vina yang diangkat ke layar lebar adalah fenomena femisida. Hal itu karena film "Vina: Sebelum 7 Hari" bukan hanya sekadar kekerasan seksual saja, tapi juga menunjukkan tak adanya kesetaraan hak lelaki dan perempuan.

Baca Juga: Komnas Perempuan Angkat Bicara Soal Film Vina: Sebelum 7 Hari: Bukan Cuma Kekerasan Seksual, Tapi Femisida!

"Yang dialami Vina bukan saja kekerasan seksual, tetapi juga femisida yakni pembunuhan perempuan yang berlatar belakang atau didorong bias gender. Dalam kasus ini, pihak laki-laki melakukan pembunuhan karena didorong oleh rasa marah akibat maskulinitas dan otoritasnya ditentang oleh korban," ujar Andy pada Sabtu (11/5/2024). 

Film "Vina: Sebelum 7 Hari" bukan hanya menunjukkan adegan pemerkosaan dan pembunuhan sadis, tetapi juga membuat banyak netizen malah menyalahkan perempuan sebagai korban, meski sekalipun dia sudah meregang nyawa.

Sebagaimana diungkap oleh kreator konten TikTok @yumapramadewi, salah satu penonton film horor tersebut. Dia malah menyalahkan Vina karena menolak perasaan seseorang lelaki, yang membuatnya diperkosa hingga dibunuh. 

"Maknanya apa dari film Vina? Bahwa berwajah cantik tidak menjamin tidak di-bully. Dan para wanita, jaga lisan dan tindakan kita untuk menolak lelaki, kita tidak tahu dendamnya lelaki bagaimana," tulis konten itu. 

Melihat komentar publik tersebut, Andy Yentriyani mengatakan bahwa cara berpikir masyarakat Indonesia belum sepenuhnya mengerti tentang kesetaraan hak lelaki dan perempuan. Alhasil, tidak jarang masih banyak yang melihat perempuan hanya sebagai objek seksual semata. 

"Kita belum berhasil 100 persen mengubah cara pandang di masyarakat agar menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, menghormati hak-hak asasi manusia secara utuh dan memposisikan perempuan bukan sebagai objek seksual dan subordinat," ungkapnya. 

Pola pikir masyarakat inilah yang kemudian bisa membuat korban kekerasan seksual merasa semakin tersudutkan. Bahkan tak jarang perilaku menyalahkan korban ini membuat penegakan hukum dan keadilan untuk korban sulit didapat. 

Sehingga sikap menyalahkan korban perempuan inilah, yang akhirnya jadi hambatan pemerintah untuk mencegah kekerasan seksual dan menurunkan kasusnya di Indonesia.

"Memang disesalkan kebiasaan menyalahkan korban masih sering kita temukan di masyarakat, terutama terhadap perempuan korban kekerasan seksual," pungkas Andy. 

Kontributor : Trias Rohmadoni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI