Suara.com - Memiliki anak dengan kondisi autis pastilah bukan hal yang mudah diterima oleh orang tua. Sebab, anak autis sudah pasti memiliki kondisi yang berbeda dengan anak normal karena adanya gangguan fungsi sosial dan komunikasi. Meski begitu, orang tua jangan dulu putus asa.
Dokter spesialis anak konsultan neurologi Prof Dr. dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)., mengatakan bahwa anak autis tetap bisa tumbuh kembang bahkan bekerja seperti anak normal. Meski autis memang tidak bisa disembuhkan, akan tetapi gejalanya bisa diminimalisir asalkan anak mendapatkan penanganan dengan tepat sejak dini.
"Kalau dia cepat didiagnosis, sekarang usia 18 bulan sudah bisa, kemudian dapat terapi yang tepat, itu sebagian besar 75 sampai 85 persen hasilnya bagus, bisa ngomong. Orang selalu bilang autis gak bisa sembuh, memang, tapi bisa tidak terlihat gejalanya asalkan dia diterapi," kata prof Hardiono saat konferensi pers Special Kids Expo (SPEKIX) 2024 di Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Anak autis yang dapat terapi dengan tepat sejak kurang dari dua tahun, kata Prof. Hardiono, kemungkinan bisa tumbuh kembang secara normal dan mendapatkan pendidikan seperti anak pada umumnya. Dengan begitu, anak autis pun bisa bekerja seperti yang lainnya.
Baca Juga: Ini Dia, Kisah Istimewa dalam 4 Film Korea yang Mengusung Tema Autisme!
Prof. Hardiono menyarankan, anak autis akan cocok bila bekerja pada suatu aktivitas yang sifatnya rutin. Karena anak autis cenderung memiliki fokus berlebihan terhadap satu aktivitas tertentu. Itu sebabnya, biasanya anak autis akan mengulang tindakan yang sama dalam waktu lama.
"Kalau anak autis bekerja di suatu hal yang rutin, hasilnya akan bagus. Kemudian kalau IQ bagus, kerja luar biasa nggak ada capeknya, kerjanya bagus tapi dia harus merasa senang, jangan dikasih yang tidak senang," saran Prof. Hardiono.
Untuk membantu anak autis bisa berdaya dan mampu bekerja, pemerintah melalaui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) kian menggalakkan lembaga sertifikasi profesi khusus penyandang disabilitas, termasuk autis.
Plt. Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Aswin Wihdiyanto mengatakan bahwa sertifikasi tersebut diberikan melalui sekolah luar biasa (SLB).
"Kalau sejak dulu dikenal ada standar kompetensi kerja nasional, prinsipnya itu sama. Hanya saja disebut standar kompetensi kerja khusus. Standarnya disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan juga di-match dengan kebutuhan di lapangan. Sehingga nanti masuk ke dunia kerja bisa ikut eksis," kata Aswin.
Baca Juga: 5 Dampak Polusi Udara bagi Ibu Hamil, Risiko Keguguran hingga Autisme
Namun, realitas di lapangan menunjukkan masih ada kesenjangan dalam mendapatkan pendidikan dan kesempatan kerja, khususnya bagi tenaga kerja dengan disabilitas termasuk penyandang autisme.
Berdasarkan data dari sistem wajib lapor Kementerian Ketenagakerjaan, dari 440 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja mencapai sekitar 237 ribu orang, hanya sekitar 2.851 orang atau sekitar 1,2 persen yang merupakan tenaga kerja disabilitas berhasil ditempatkan dalam sektor formal.