Suara.com - Megawati Soekarnoputri bicara soal sengketa Pemilu 2024 dalam sebuah media online yang tayang pada Senin, 8 April 2024. Artikel opini Megawati tersebut berjudul "Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi". Aksi Megawati menulis opini soal sengketa Pemilu 2024 disinyalir bahwa keadaan Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Sikap Megawati terkait sengketa Pilpres 2024 sebenarnya telah diwakili oleh kuasa hukum paslon presiden dan wakil presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Lantas bagaimana opini Megawati soal sengketa Pilpres 2024? Simak penjelasan berikut ini.
Kekhawatiran Megawati
Dalam artikel itu, Megawati menyampaikan pesan substansial kepada para hakim MK. Hal itu dimaknai sebagai akumulasi dari puncak kegelisahan, kekecewaan, dan membatinnya Megawati pada kekuasaan yang mengabaikan etika dan moral yang dilakukan secara vulgar.
Bahkan menurut Megawati, hal itu dilakukan dengan cara memanipulasi hukum dan konstitusi. Teks artikel opini Megawati itu secara wacana memiliki pesan jamak atau multi pesan.
Baca Juga: Jadi Pejabat Pertamina Bergaji 2 Digit, Judul Skripsi Arie Febriant Digunjing: Sekelas UI...
Di satu sisi memberi pesan kepada hakim MK sebagai negarawan agar mampu mengambil putusan adil untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum ini. Namun dari sisi lain, memberi pesan kepada publik bahwa betapa pentignya etika dan moral dalam memandu jalanya negara.
Secara teks Megawati juga memberi pesan bahwa sesungguhnya negara ini sedang mengalami kemunduran dan terancam menghadapi masalah sangat serius. Ada semacam kekhawatiran luar biasa pada diri Megawati. Ketika moral negara dirusak, hukum dimanipulasi dan konstitusi diabaikan maka seorang negarawan harus mengambil sikap jelas, kira-kira itu posisi Megawati saat ini.
Dalam argumen etiknya, Megawati merujuk pandangan rohaniawan dan filsuf Franz Magnis Suseno yang menyampaikan bahwa ada unsur-unsur yang menunjukan pelanggaran etika serius dalam pelaksanaan pemilu 2024. Dari argumen tersebut, Megawati mengingatkan Jokowi bahwa tanggungjawab Presiden terhadap etika sangatlah penting.
Presiden memegang kekuasaan atas negara dan pemerintahan yang sangat besar. Oleh karenanya sebagai penguasa eksekutif tertinggi, Presiden dituntut dengan standar etika tinggi dan tanggungjawab etikanya agar kewibawaan negara hukum tercipta. Megawati sesungguhnya mengatakan bahwa pengabaian pada etika artinya sedang meruntuhkan kewibawaan hukum.
Harapan Megawati pada Hakim MK
Secara kontekstual, pandangan dan sikap politik Megawati dalam sengketa Pilpres 2024 yang tertuang dalam artikel opini itu menggambarkan konteks dinamika politik saat ini. Maknanya, Megawati semacam memberi jawaban tegas pada kondisi politik saat ini.
Baca Juga: Jalani Debut di Liga Filipina, Nurhidayat Simpan Hasrat Kembali ke Timnas
Misalnya dia mencatat bahwa Pilpres 2024 adalah puncak evolusi kecurangan hingga dia kategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dan di saat yang sama dibingkai dengan praktik nepotisme yang mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden.
Dalam konteks itu, Megawati masih memberi harapan terakhirnya pada Mahkamah Konstitusi (MK) yang lebih khusus Megawati sebut kepada "Sembilan dewa" penyelamat konstitusi.
Pada titik ini, mungkin Megawati lupa bahwa kini pengambil putusan di MK tinggal 8 orang hakim, bukan lagi 9 karena Anwar Usman sang paman yang divonis MKMK telah melanggar Etika Berat tidak diperkenankan mengadili sengketa pilpres tahun 2024 ini.
Mengapa Megawati masih memberi harapan pada 8 hakim tersebut? Sebenarnya dapat dibaca cara berpikir Megawati bahwa itulah cara konstitusional yang paling mungkin dilakukan untuk memutuskan perkara sengketa pilpres.
Oleh karenanya Megawati mengatakan bahwa ketukan palu hakim MK selanjutnya akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan bagi rakyat dan negara. Hal itu jadi semacam ultimatum moral negarawan Megawati. Problemnya bagaimana jika Hakim MK memilih jalan kegelapan demokrasi? Semoga tidak terjadi.
Kontributor : Trias Rohmadoni