Suara.com - Pemerintah RI belum menentukan hari pertama puasa 1 Ramadan 1445 H. Sebab perlu lebih dulu dilakukan sidang Isbat dengan melihat hilal atau pergerakan bulan yang baru akan dilaksanakan hari ini, 10 Maret 2024. Namun, Organisasi Islam Muhammadiyah telah menetapkan awal puasa Ramadhan 2024 jatuh pada Senin, 11 Maret.
Hal itu berbeda dengan penetapan 1 Ramadan yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU). Ketua LF PBNU, KH Sirril Wafat memprediksi 1 Ramadan 2024 akan jatuh pada Selasa, 12 Maret 2024.
Muhammadiyah memang punya cara berbeda dengan NU dalam menghitung awal Ramadan. Muhammadiyah dikenal sejak lama mengandalkan metode hisab. Berdasarkan hasil hisab atau perhitungan, pada Minggu, 10 Maret 2024, bulan sudah berada di atas ufuk atau hilal sudah terlihat di wilayah Indonesia.
Sementara, pemerintah juga melakukan metode pengamatan langsung dengan perhitungan astronomis yang berdasarkan pada pergerakan benda langit metode, serupa dengan yang dilakukan NU.
Baca Juga: Tips Tampil Segar Selama Bulan Puasa Ala Raisa: Pakai Makeup Natural
Menyikapi perbedaan tersebut, pendakwah Buya Yahya mengingatkan agar masyarakat menanggapi hal tersebut dengan santai. Dia mengingatkan agar tidau perlu ada keributan meski ada perbedaan waktu hari pertama puasa.
"Ramadan adalah momen istimewa untuk menjalin hubungan baik dengan Allah sekaligus hubungan kita dengan sesama manusia. Karenanya Ramadan jangan sampai jadi momen bermusuhan, berselisih paham. Kalau ada perbedaan, jika masih dalam wilayah yang boleh berbeda, maka kita tidak perlu terlalu meributkannya. Terumasuk di dalamnya dalam menetapkan bulan Ramadan," tutur Buya Yahya, dikutip dari tayangan videonya di kanal YouTube pribadinya.
Pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah dan Pondok Pesantren Al Bahjah di Cirebon itu menjelaskan bahwa pada dasarnya awal puasa Ramadan memang dengan metode rukyatul hilal atau melihat bulan. Tetapi, ada pula cara lain yang menentukan tanggal 1 Ramadan dengan metode ilmu falak, cabang dari ilmu astronomi.
"Hilal atau tanggal arab itu dengan rukyatul hilal, kita berpuasa dengan melihat hilal dan berbuka dengan melihat hilal, pada dasarnya semacam itu. Ada kalanya dengan hisab falaki, dengan ilmu falak, bisa saja dipakai pada saat-saat tertentu. Misalnya saat hilal tidak bisa dilihat, tetapi falak bisa menentukannya tentunya dengan syarat-syarat dan ketentuan tertentu," imbuhnya.
Dia menyimpulkan, baik metode rukyatul hilal dengan melihat bulan atau pun metode hisab atau perhitungan, asalkan sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan, maka teyap sah. Meski begitu, Buya Yahya menyarankan agar masyarakat sebaiknya mengikuti pemerintah.
Baca Juga: Ganjar Pranowo Bagi-bagi Mainan Anak-anak di Makam Orang Tua: Ziarah Membuat Kita Lebih Tahu Arah!
"Kami mengimbau agar tidak mendahului pemerintah. Dalam hal ini sebaiknya mengikuti saja. Kalau pun ada yang mendagului, tentunya tanpa harus membuat resah yang mengikuti pemerintah," pesannya.
Buya Yahya menegaskan kalau mengikuti pemerintah juga termasuk syar'i. Sebab, pemerintah tentu melibatkan orang-orang ahli dalam melihat hilal untuk menentukan 1 Ramadan tersebut.