Suara.com - Fotografer senior Darwis Triadi baru-baru ini menjadi sorotan karena komentarnya mengenai Aksi Kamisan. Kontroversi bermula dari komentar Darwis Triadi di postingan Instagram @hariankompas yang membagikan momen Aksi Kamisan.
Dalam komentar yang diunggah kembali oleh akun Twitter @ARSIPAJA, Darwis Triadi menyambungkan Aksi Kamisan dengan Pemilu 2024. Dalam bahasa Jawa, ia menyarankan agar para peserta aksi Kamisan menghentikan aksinya dan menerima hasil Pemilu 2024 dengan lapang dada.
"Wes tooo, Pemilu wes rampung bu. Tinggal nunggu KPU. Quick count juga sudah ada. Trimo karo lapang dodo, ora usah nggawe ribut malah. Ojo gelem dikongkon ngene pun kundur mawon," tulis Darwis Triadi dalam bahasa Jawa yang berarti (Sudah ya, pemilu kan sudah selesai bu, tinggal tunggu kpu, quick count juga sudah ada. Terima saja dengan lapang dada, tidak usah buat ribut malahan, jangan mau disuruh begini, sudah balik saja).
Komentar tersebut memicu kritik dari banyak warganet, yang merasa bahwa Darwis Triadi kurang memiliki empati terhadap keluarga korban.
"Selamat anda turut menyumbang kesengsaraan dan menertawakannya," komentar netizen di postingan Darwis. "Nir empati," sahut akun lainnya.
Dari penelusuran Suara.com. Darwis Triadi ternyata pernah menjadi fotografer untuk foto resmi Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada tahun 2019 lalu. Hal itu sempat ia unggah di akun Instagramnya.
Lahir di Solo pada tanggal 15 Oktober 1954 dengan nama lengkap Andreas Darwis Triadi, Darwis Triadi memiliki latar belakang sebagai siswa penerbangan di LPPU Curug sebelum memasuki dunia fotografi. Setelah menyelesaikan pendidikan penerbangan di AERO Club, minatnya terhadap fotografi mulai berkembang sejak tahun 1979. Dia memperdalam pengetahuannya tentang desain dan fotografi pada tahun 1980, dan menjadi anggota aktif "X 13" Cipta Negara Photography Association pada tahun berikutnya. Pada tahun 1982, prestasinya terangkat ketika dia meraih GOLD AWARD dari MATSUSHITA Jepang untuk kalender fotografi internasional.
Kariernya terus mengalami kemajuan seiring waktu, dengan dia aktif dalam berbagai pameran dan workshop. Pada tahun 1989, Darwis Triadi diangkat sebagai Ketua II JPS (Jakarta Photography Association). Karyanya juga diakui secara internasional dengan terpilihnya salah satu karyanya untuk "HASSELBLAD INTERNATIONAL ANNUAL" dan dipamerkan di PHOTONIKA Kohln, Jerman.
Sementara, Sumarsih sendiri adalah seorang aktivis yang gigih dan berdedikasi dalam memperjuangkan keadilan atas hilangnya nyawa putranya, Bernardus Realino Norma Irmawan atau yang akrab disapa Wawan, dalam kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Baca Juga: Dulu Ajudan Presiden, Beda Cara Mayor Teddy Kawal Jokowi dan Prabowo Jadi Sorotan
Sebagai seorang ibu, Sumarsih telah menghabiskan 17 tahun hidupnya untuk ikut serta dalam aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta, dengan harapan mendapatkan keadilan untuk anaknya yang tewas karena tindak kekerasan pada tahun 1998.
Wawan menjadi korban tragis dalam peristiwa Semanggi I pada tahun 1998 ketika ia turut serta dalam aksi menolak Sidang Istimewa MPR sebagai bagian dari Tim Relawan medis. Meskipun usianya sudah mencapai 71 tahun, Sumarsih tak pernah lelah dalam menuntut keadilan untuk putranya yang tewas akibat peluru yang ditembakkan ke dadanya.
Selama bertahun-tahun, Sumarsih secara terbuka menuntut agar Presiden Jokowi menindaklanjuti janji kampanyenya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Ia juga menegaskan Prabowo Subianto sebagai penjahat kemanusiaan dan menuduhnya sebagai salah satu dalang kasus pelanggaran HAM di masa lalu.