Suara.com - Sosok Bu Sumarsih sempat menjadi trending di X, usai fotografer senior Darwis Triadi menyinggung Aksi Kamisan yang dilakukan oleh ibu korban penembakan tragedi Semanggi 1 itu. Selama lebih dari 17 tahun, Sumarsih dengan tabah dan gigih berdiri di sebrang Istana Presiden, menagih keadilan atas nasib anaknya.
Dalam komentarnya yang diunggah kembali akun Twitter @ARSIPAJA, Darwis Triadi tampak mengaitkan aksi Kamisan dengan Pemilu 2024. Dengan bahasa Jawa, ia menuliskan agar para pelaku aksi berhenti melakukan Kamisan dan menerima hasil Pemilu 2024.
"Wes tooo, Pemilu wes rampung bu. Tinggal nunggu KPU. Quick count juga sudah ada. Trimo karo lapang dodo, ora usah nggawe ribut malah. Ojo gelem dikongkon ngene pun kundur mawon," tulis Darwis Triadi dalam bahasa Jawa yang berarti (Sudah ya, pemilu kan sudah selesai bu, tinggal tunggu kpu, quick count juga sudah ada. Terima saja dengan lapang dada, tidak usah buat ribut malahan, jangan mau disuruh begini, sudah balik saja).
Lantas, siapa sebenarnya Bu Sumarsih itu? Maria Katarina Sumarsih adalah seorang aktivis yang gigih dan berdedikasi dalam memperjuangkan keadilan atas hilangnya nyawa putranya, Bernardus Realino Norma Irmawan atau yang akrab disapa Wawan, dalam kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Baca Juga: Ngomong Begini Soal Aksi Kamisan, Fotografer Senior Darwis Triadi Jadi Bulan-bulanan
Sebagai seorang ibu, Sumarsih telah menghabiskan 17 tahun hidupnya untuk ikut serta dalam aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta, dengan harapan mendapatkan keadilan untuk anaknya yang tewas karena tindak kekerasan pada tahun 1998.
Wawan menjadi korban tragis dalam peristiwa Semanggi I pada tahun 1998 ketika ia turut serta dalam aksi menolak Sidang Istimewa MPR sebagai bagian dari Tim Relawan medis. Meskipun usianya sudah mencapai 71 tahun, Sumarsih tak pernah lelah dalam menuntut keadilan untuk putranya yang tewas akibat peluru yang ditembakkan ke dadanya.
Selama bertahun-tahun, Sumarsih secara terbuka menuntut agar Presiden Jokowi menindaklanjuti janji kampanyenya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Ia juga menegaskan Prabowo Subianto sebagai penjahat kemanusiaan dan menuduhnya sebagai salah satu dalang kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Sumarsih bukan hanya seorang ibu yang meratapi kehilangan anaknya, tetapi juga menjadi pelopor dan penggerak dalam Aksi Kamisan yang menuntut keadilan bagi para korban pelanggaran HAM di Indonesia. Penghargaan Yap Thiam Hien Award 2004 yang diterimanya adalah pengakuan atas perjuangannya dalam membela nilai kemanusiaan dan mengubah kesedihan menjadi kesadaran untuk terus memperjuangkan keadilan.
Sumarsih menjadi simbol keteguhan hati dan perjuangan yang tak kenal lelah dalam menegakkan keadilan di Indonesia. Kehadirannya di depan Istana Negara setiap Kamisan adalah pengingat bagi pemerintah dan masyarakat bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu demi kesejahteraan bersama.