Rentan Golput, Hasil Survei Sebut Banyak Pemilih Pemula yang Tak Paham Istilah Politik

Vania Rossa Suara.Com
Rabu, 07 Februari 2024 | 11:33 WIB
Rentan Golput, Hasil Survei Sebut Banyak Pemilih Pemula yang Tak Paham Istilah Politik
Ilustrasi pemilu. (Freepik)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemilu di Indonesia serupa pesta. Setelah nyoblos, akan ada banyak brand yang memberi diskon besar-besaran. Mulai dari gerai makanan dan minuman, retail fashion dan aksesori, hingga tempat wisata. Syaratnya cuma menunjukkan jari bertinta, pertanda kamu sudah nyoblos.

Tapi, masalahnya, apakah kamu sudah nyoblos dengan bijak dan cerdas? Jangan-jangan, demi mendapat diskon, kamu malah mencoblos semua kandidat, atau hanya asal nyoblos saja, atau tidak ada yang dicoblos sama sekali.

Kawula17, sebuah inisiatif yang mengajak anak muda berpartisipasi aktif dalam pemilu, mengadakan survei secara reguler, dan menemukan banyak orang muda yang tidak terlalu paham soal politik, termasuk tentang kenapa mereka harus ikut pemilu.

Survei nasional yang diadakan setiap 3 bulan itu diikuti 400 hingga 600 responden berusia 17 hingga 44 tahun. Pada kuartal ketiga 2023, 80% responden menyatakan akan ikut nyoblos di Pemilu 2024, sementara itu sebagian kecil masih bingung akan nyoblos atau tidak, dan sebagian sangat kecil sudah yakin tidak akan nyoblos.

Baca Juga: Pesan Surya Paloh Ke Penyelenggara Pemilu Agar Kembali Ke Jalan Yang Benar: Persatuan Bangsa Di Atas Kepentingan Pemilu

Di sisi lain, banyak remaja usia 17 tahun yang ternyata tidak memahami istilah seputar politik, misalnya oposisi, progresif, dan konservatif.

Padahal, menurut Dian Irawati, co-founder Kawula17.id, ketika usia 16 tahun, seharusnya remaja sudah mendapatkan civic education (pendidikan kewarganegaraan). Kenyataannya, ketika mengunjungi sekolah, ia masih sering mendapat pertanyaan yang cukup mencengangkan.

“Kenapa, sih, kita harus memilih DPR? Memangnya kita punya suara apa? Siapa yang bisa memastikan bahwa DPR itu akan selalu sesuai janji? Mereka belum melihat apa pentingnya memilih DPR. Sepertinya ada yang terputus dengan pendidikan kewarganegaraan kita, sehingga kita belum bisa mendekatkan alasan, ini, lho, kenapa kita perlu ikut pemilu,” kata Dian, mengutip keterangan tertulis.

Sementara itu, bicara tentang oposisi, ia bercerita, di beberapa pemilu terakhir, calon presiden lebih menciptakan lingkungan politik tanpa oposisi. Mereka lebih bersifat merangkul dan berkoalisi.

“Sehingga, remaja 17 tahun tidak mengerti soal oposisi. Mereka berpikir bahwa oposisi itu buruk, karena pasti akan menciptakan konfrontasi setiap saat. Padahal, dalam hidup berbangsa dan bernegara ini dibutuhkan oposisi, sehingga ketika membuat sebuah kebijakan, pembuatnya bisa melihat suatu isu dari berbagai perspektif,” kata Dian lagi.

Baca Juga: Yenny Wahid Sebut Demokrasi Indonesia 'Tidak Baik-baik Saja', Ini Alat Ukurnya

Tingginya angka kesediaan untuk berpartisipasi dalam pemilu menurut hasil survey, bisa diartikan sebagai ketertarikan orang muda yang terbilang tinggi terhadap politik.

"Namun, dilihat dari hasil survei satu tahun terakhir, ketika ditanya apakah sudah punya pilihan atau belum, orang muda di bawah usia 35 tahun selalu menjadi kelompok usia yang paling banyak belum punya pilihan,” kata Oktafia Kusuma, Research Fellow Kawula17.

Fakta bahwa memilih partai bukanlah hal yang mudah bagi orang muda, Kawula17 kemudian meluncurkan Voting Advice Application (VAA) untuk membantu pemilih menentukan pilihan partai dan presiden.

Aplikasi VAA membantu memberi pemahaman tentang posisi suatu partai tentang berbagai isu, termasuk sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan. Lewat gamification berupa kuis, orang muda diharapkan bisa menentukan pilihan akan partai yang paling sesuai dengan preferensi dirinya.

“Kami ingin mengedepankan isu, bukan ideologi. Dengan begitu, kita bisa melihat bagaimana posisi partai terhadap suatu isu. Sehingga, pembicaraan antara anak dan orang tua di meja makan tidak lagi tentang identitas,” kata Dian.

Sambutan soal VAA Partai Politik ini cukup fantastis. Hanya dalam waktu dua hari, Kawula17 sudah memberi 105.000 rekomendasi kepada pemilih.

Sukses dengan VAA Partai Politik, di akhir minggu ketiga Januari 2024 lalu, diluncurkan kembali VAA Ca(wa)pres. Untuk VAA ini, pemilih disarankan untuk kenali programnya, baru tentukan presidennya. Dalam hitungan 72 jam, sudah 463.298 rekomendasi diberikan kepada pemilih yang ikut kuis.

Yang menarik, survei mengungkap, mayoritas pemilih akan memilih presiden dan wakil presiden berdasarkan ide atau gagasan yang diperjuangkan. Selain itu, mereka juga melihat pengalaman kandidat dan jabatan sebelumnya. Mereka tidak lagi mempertimbangkan identitas, misalnya suku atau agama, dan penampilan fisik.

Kuisnya berisi 15 pertanyaan yang disarikan dari visi-misi masing-masing pasangan presiden dan calon presiden. Sejumlah pertanyaan terbilang sulit, sehingga jawabannya perlu dipikirkan dengan matang dan waktu sedikit lebih lama. Tapi, hanya dalam waktu sekitar 6 menit, umumnya pemilih akan mendapatkan rekomendasi tentang kandidat yang programnya dinilai paling selaras dengan keinginan pemilih.

Namun Dian menegaskan, bahwa kuis itu dibuat bukan untuk mendapatkan rekap hasil, melainkan memberi kesempatan pada pemilih untuk mempelajari visi dan misi kandidat, membandingkan visi-misi tersebut, kemudian melihat kembali ke diri sendiri, menyelaraskan visi-misi yang paling dekat dengan dirinya.

VAA sendiri bukanlah hal baru di dunia politik. Sejumlah negara di Eropa dan Amerika sudah menggunakannya sejak awal 2000-an. Di Jerman ada Wahl-0-Mat sejak 2002, di Swiss ada SmartVote sejak 2003, di Belanda ada StemWijzer sejak 1989 yang dinilai paling sukses dengan memberi jutaan rekomendasi. Menariknya, tidak hanya negara Barat yang menggunakan aplikasi ini, Zimbabwe pun merancang VAA yang sesuai dengan lingkungan politik negaranya.

Dian menyebutkan, akan lebih baik jika ada beberapa VAA di sebuah negara.

“Di Belanda ada empat VAA untuk mengakomodasi 17 juta penduduknya. Seharusnya di Indonesia ada beberapa lembaga lain yang membuatnya,” kata Dian, yang cukup kaget saat tahu bahwa VAA yang dibuat Kawula17 merupakan yang pertama di Indonesia.

“Remaja usia 17 bukan tidak mau melihat atau membaca informasi. Tapi, cara memberi informasinya selama ini (mungkin tidak sesuai dengan keinginan mereka. Karena itu, banyak yang bilang senang sekali tidak harus baca visi-misi calon presiden hingga berpuluh lembar. Hanya perlu baca sedikit, lihat yang disukai, lalu cari sendiri info lebih lanjut. Inilah dampak yang kami inginkan,” pungkas Dian.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI