Ria Ricis Ceraikan Teuku Ryan Karena 'Tak Dibelai' 18 Bulan? Ini Hukumnya dalam Islam

Selasa, 06 Februari 2024 | 14:15 WIB
Ria Ricis Ceraikan Teuku Ryan Karena 'Tak Dibelai' 18 Bulan? Ini Hukumnya dalam Islam
Ria Ricis Ceraikan Teuku Ryan Karena 'Tak Dibelai' 18 Bulan? Ini Hukumnya dalam Islam (Instagram)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penyebab keretakan rumah tangga antara Ria Ricis dengan Teuku Ryan perlahan mulai terungkap. Meskipun Ria Ricis belum menjelaskan secara gamblang mengapa ia menggungat cerai, namun muncul dugaan karena Ryan tidak memberi nafkah batin untuk Ricis selama sekitar 18 bulan. Lantas bagaimana hukum suami tidak memberi nafkah batin untuk istri? 

Munculnya dugaan Ryan tak memberi nafkah batin untuk Ricis ini terungkap dari pernyataan kakak ipar Ria Ricis, Ori Vitrio Abdullah alias Rio. Dalam pengakuannya, Rio menyebutkan jika kesalahan Ryan yanh cukup fatal. Pria asal Aceh tersebut disebut tidak menyentuh Ria Ricis setelah melahirkan. Hal yang sama sendiri juga sempat disinggung oleh Ria Ricis langsung melalui di sosial beberapa waktu lalu. 

"Memang sudah fatal sih kesalahannya. Oki juga ya gimana ya emang udah fatal sih. Kan udah ramai di sosmednya dia, dari lahiran sampai sekarang nggak disentuh ya gimana kalau nikah? Kan Ricis sudah kasih kode itu," kata suami Oki Setiana Dewi dalam salah satu acara di ANTV, pada Kamis (1/2/2024) lalu. 

Tudingan tersebut langsung dibantah oleh Teuku Ryan sendiri. Bahkn ia meminta suami Oki Setiana Dewi itu tak seharusnya menebarkan fitnah. Terlebih lagi, Rio dikenal sebagai sosok yang sangat paham dengn ilmu agama. 

Baca Juga: Gaji Lebih Kecil dari Ria Ricis, Harga Diri Teuku Ryan Dipertanyakan Psikolog: Kenapa Gak Kerja?

"Dari lahiran tak disentuh? Jangan memfitnah baiknya. Allah Maha Tahu, mas Rio juga paham agama. Mohon support saja yang baik," tulis Teuku Ryan disalah satu komentar unggahan video menggunakan akun TikToknya. 

Hukum Suami Tidak Memberi Nafkah Batin untuk Istri 

Seorang perempuan yang sudah menikah berhak mendapatkan nafkah dari suaminya. Tak hanya nafkah berupa materi, namun nafkah batin yang juga harus terpenuhi. Sebab, jika tidak seimbang maka akan menimbulkan beberapa masalah di antara rumah tangga keduanya. 

Melansir dari NU Online, nafkah batin merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh suami kepada istrinya selain nafkah dalam bentuk lahir. Hal ini sesuai yang  dijelaskan dalam Al-Qura'n: 

 لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا  

Baca Juga: Ajak Moana Jalan-jalan ke Mal, Cara Asuh Teuku Ryan Jadi Gunjingan: Enggak Gitu Caranya...

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS At-Thalaq: 7).   

Melalui potongan ayat di atas, maka bisa kita pahami bahwa dari sisi istri pemenuhan nafkah lahir dan juga batin adalah hak istri yang bila tidak terpenuhi maka ia diperkenankan untuk berani menuntut hak tersebut. Syekh Wahbah dalam kitab Al-Fiqhul Islami mengatakan bahwa: 

للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل    

Artinya: “Bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafkah dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, juz IX, halaman 6832). 

Atas adanya pertimbangan tersbeut, maka jika ada suami tidak memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah lahir atau batin, maka akan dapat menimbulkan konsekuensi. Adapun yang dimaksud yaitu istri boleh menggugat cerai suami jika memang ia tidak bersabar akan hal-hal tersebut. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam As-Syafi’i:  

  قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى : لَمَّا دَلَّ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ عَلَى أَنَّ حَقَّ الْمَرْأَةِ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَعُولَهَا احْتَمَلَ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا وَيَمْنَعَهَا حَقَّهَا وَلَا يُخَلِّيَهَا تَتَزَوَّجُ مَنْ يُغْنِيهَا وَأَنْ تُخَيَّرَ بَيْنَ مُقَامِهَا مَعَهُ وَفِرَاقِهِ  

Artinya: “Imam As-Syafi’i berkata: “Baik Al-Qur'an maupun As-Sunah telah menjelaskan bahwa kewajiban suami terhadap istri adalah mencukupi kebutuhannya. Konsekuensinya adalah suami tidak boleh hanya sekadar berhubungan badan dengan istri tetapi menolak memberikan haknya, dan tidak meninggalkannya agar bisa diambil oleh orang yang mampu memenuhi kebutuhannya. Jika demikian (tidak memenuhi hak istri), maka isteri boleh memilih antara tetap bersama atau pisah dengannya.” (As-Syafi’i, Al-Umm, juz VII, halaman 121).   

Lamanya Masa Suami Tidak Memberi Nafkah Batin kepada Istri 

Selanjutnya, berapa masa terlama suami boleh tidak memberikan nafkah batin untuk istrinya? Untuk mengetahui hal ini, Imam Ibnu Hazm berpendapat jika seorang suami wajib hukumnya memberikan nafkah batin kepada sang istri sekurang-kurangnya swlama satu kali satu bulan. Pendapat tersebut berdasarkan pada ayat yang berbunyi: 

  فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ     

Artinya: “Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS Al-Baqarah: 222). 

Melalui ayat di atas, maka dapat kita memahami bahwa biasanya siklus haid seorang perempuan yaitu selama sebulan sekali, dan perintah untuk menggauli istri dalam ayat yang dipahami oleh Ibnu Hazm sebagai perintah yang menunjukkan kewajiban. 

Namun berbeda halnya dengan ulama lain yang berpendapat jika perintah di atas menunjukkan hukum mubah mengingat kaidah yang artinya: “Perintah sesudah larangan menunjukkan hukum mubah”. 

Meski demikian, Imam As-Syafi’i sendiri tampaknya lebih sepakat dengan pendapat yang mengatakan jika batas waktunya yakni selama 4 bulan. Pendapat itu berdasarkan ketetapan yang telah dibuat oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Di masa tersebut, banyak sekali lelaki yang pergi berperang dan meninggalkan istri mereka. Hingga tak sedikit istri yang merasa kesepian dan sedih akan hal ini. 

Selesai berundinh dengan Hafshah, Umar kemudian memutuskan jika pasukan yang sudah bertugas selama 4 bulan di medan perang pulang untuk segera memberikan nafkah kepada istrinya, atau jika tidak mampu boleh menceraikannya: 

كَتَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى أُمَرَاءِ الْأَجْنَادِ فِي رِجَالٍ غَابُوا عَنْ نِسَائِهِمْ يَأْمُرُهُمْ أَنْ يَأْخُذُوهُمْ بِأَنْ يُنْفِقُوا أَوْ يُطَلِّقُوا ، فَإِنْ طَلَّقُوا بَعَثُوا بِنَفَقَةِ مَا حَبَسُوا. وَهَذَا يُشْبِهُ مَا وَصَفْتُ  

Artinya: “Umar bin Khaththab ra pernah menulis surat kepada para panglima perang mengenai para suami yang jauh istrinya. Dalam surat tersebut beliau menginstruksikan kepada mereka agar mengultimatum para suami dengan dua opsi; antara memberikan nafkah kepada para istri atau menceraikannya. Kemudian apabila para suami itu memilih menceraikan para istri, mereka harus mengirimkan nafkah yang belum mereka berikan selama meninggalkannya. Hal ini mirip dengan apa yang telah saya (Imam As-Syafi’i) kemukakan”. (As-Syafi’i, Al-Umm, juz VII, halaman 121). 

Kesimpulannya yaitu, apabila melihat pada pendapat para ulama, maka batas maksimal suami yang diperbolehkan untuk tidak memberikan nafkah batin ialah selama 1 bulan bila mengacu pada pendapat Imam Ibnu Hazm, dan 4 bulan jika mengacu keputusan  Amirul Mukminin Umar bin Khatab. 

Demikianlah penjelasan tentang hukum suami tidak memberi nafkah batin untuk istri. Semoga bermanfaat! 

Kontributor : Putri Ayu Nanda Sari

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI