Suara.com - Nama Tom Lembong hingga kini masih menjadi perhatian, usai disebut beberapa kali oleh Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam debat cawapres beberapa waktu lalu. Seperti diketahui, Tom Lembong atau Thomas Lembong, merupakan bagian dari Tim Sukses Anies Baswedan - Cak Imin.
Baru-baru ini, bahkan, Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Panjaitan, ikut turun gunung memberi respons tajam terhadap kritik yang diberikan oleh Co-Captain Tim Nasional AMIN, Thomas Lembong. Respons itu terutama terkait terkait kebijakan nikel dan hilirisasi nikel yang diimplementasikan oleh Jokowi.
Luhut menghadapi kritik tersebut dengan mengungkap sejumlah 'kegagalan' yang disebutnya terjadi selama Tom Lembong menjabat sebagai bawahan Jokowi. Salah satu kegagalan yang diungkit adalah terkait dengan upaya mempermudah proses perizinan investasi melalui sistem Izin Online Single Submission (OSS).
Banyak orang mengenal Tom Lembong hanya dari karier di pemerintahan sebagai mantan Menteri Perdagangan, mantan Kepala Badan Penanaman Modal. Namun, jauh sebelum itu, jejak karier Tom Lembong sudah moncer.
Baca Juga: Tak Persoalkan Pernyataan Jokowi Soal Presiden Boleh Kampanye, KPU: UU Pemilu Bolehkan!
Tom memulai kariernya di Divisi Ekuitas Morgan Stanley di New York dan Singapura pada tahun 1995. Pada periode 1999-2000, ia menjadi bankir investasi di Deutsche Securities Indonesia. Dalam karirnya yang gemilang, Tom terlibat dalam proses rekapitalisasi dan penggabungan beberapa bank, termasuk Bank Bumi Daya, Bank Eksim, Bank Dagang Negara, dan Bank Bapindo, yang kemudian membentuk Bank Mandiri.
Selama periode tersebut, Tom juga menjabat sebagai Senior Vice President dan Kepala Divisi yang bertanggung jawab atas restrukturisasi dan penyelesaian kewajiban Salim Group terhadap negara, sebagai dampak dari kejatuhan Bank BCA selama krisis moneter tahun 1998. Ia juga memiliki pengalaman berharga sebagai kepala divisi dan wakil presiden senior di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) selama 2000-2002.
Pada tahun 2002-2005, Tom bergabung dengan Farindo Investments sebelum mendirikan Quvat Management pada tahun 2006, sebuah perusahaan dana ekuitas swasta. Selain itu, ia menjabat sebagai Presiden Komisaris di PT Graha Layar Prima atau Blitz Megaplex pada 2012-2014.
Sebelum dekat dengan Anies Baswedan, Tom adalah salah satu kepercayaan Jokowi, menulis pidato untuknya sejak jabatan Gubernur DKI Jakarta hingga Presiden RI. Tom mulai terlibat dalam politik sebagai penasihat ekonomi dan penulis pidato Jokowi saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, peran yang terus berlanjut selama jabatan pertama Jokowi sebagai Presiden.
Tom diangkat oleh Jokowi sebagai Menteri Perdagangan pada periode 2015-2016, dan kemudian sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada periode 2016-2019, yang kini telah berubah nama menjadi Kementerian Investasi. Saat ini, Tom juga menjadi bagian dari Dewan Penasihat Internasional Institut Kajian Strategis Internasional (IISS) di London dan Dewan Penasihat Internasional Plastic Omnium, sebuah perusahaan komponen otomotif di Perancis.
Baca Juga: Usai Bertemu Sultan HB X, Anies: Keistimewaan Yogya Harus Tetap Dijaga!
Pada Agustus 2021, saat Anies Baswedan masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Tom diangkat sebagai Ketua Dewan PT Jaya Ancol, satu-satunya Badan Usaha Milik Pemerintah Provinsi di Indonesia yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Setelah itu, Tom mendirikan Consilience Policy Institute yang beroperasi di Singapura, bertindak sebagai pusat pemikiran untuk mendorong kebijakan ekonomi internasionalis dan reformis di Indonesia.