Alasan Presiden Jokowi Harus Netral saat Pilpres, Boleh Memihak atau Tidak?

M Nurhadi Suara.Com
Rabu, 24 Januari 2024 | 10:49 WIB
Alasan Presiden Jokowi Harus Netral saat Pilpres, Boleh Memihak atau Tidak?
Prabowo, Jokowi dan Erick Thohir. [Ist]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Presiden Jokowi mengatakan, seorang presiden boleh mendukung dan berpartisipasi dalam kampanye pemilihan presiden (pilpres) selama tetap mematuhi aturan terkait waktu kampanye dan tidak menggunakan fasilitas negara.

Pernyataan ini sebagai tanggapan terhadap kritik terhadap menteri-menteri yang terlibat dalam kampanye Pilpres 2024. Jokowi menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar aturan.

"Seorang presiden diperbolehkan untuk berkampanye dan mendukung. Ia diperbolehkan, namun yang paling penting, saat kampanye, tidak boleh menggunakan fasilitas negara," ujar Jokowi di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Rabu (24/1/2024.

Jokowi juga menegaskan bahwa seorang presiden tidak hanya merupakan pejabat publik tetapi juga memiliki status sebagai pejabat politik.

Baca Juga: Eks Mendag Jokowi dan SBY Ini Justru Bela Gibran Soal Tesla Pakai Nikel, Kini Skakmat Tom Lembong

Dukungan Jokowi dalam Pilpres 2024 menjadi sorotan masyarakat, terutama karena putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, turut mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden. Gibran akan berpasangan dengan Capres 02, Prabowo Subianto, yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Jokowi.

Presiden Boleh Kampanye dan Memihak di Pilpres?

Polemik presiden memihak kepada salah satu capres-cawapres tentu akan menjadi perhatian publik. Tentu ada aturan hukum yang mengatur hal ini.

Hak memilih presiden dan wakil presiden dimiliki oleh seluruh warga negara, termasuk presiden. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 23 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik.

Dikutip dari Hukum Online, Pasal 43 ayat (1) UU HAM juga menjamin bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum.

Baca Juga: Mahfud Md Mau Mundur Dari Menkopolhukam, Jokowi Malah Bilang Begini

Penting untuk dicatat bahwa dalam konteks pemilihan umum, seharusnya seorang presiden menunjukkan sikap netral tanpa mendukung pihak manapun agar proses pemilihan dapat berjalan demokratis, jujur, dan adil.

Hal ini mengingat peran presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dan kepala negara sesuai dengan mandat konstitusi.

Dalam kerangka peraturan perundang-undangan, UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengamanatkan beberapa ketentuan yang menekankan perlunya netralitas presiden.

Sebagai contoh, Pasal 48 ayat (1) huruf b UU Pemilu menetapkan bahwa KPU harus melaporkan pelaksanaan seluruh tahapan pemilu dan tugas-tugas lainnya kepada DPR dan presiden.

Lebih lanjut, Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU Pemilu mengatur bahwa presiden memiliki peran dalam membentuk tim seleksi untuk menetapkan calon anggota KPU yang akan diajukan kepada DPR. Oleh karena itu, presiden diharapkan untuk tetap netral selama seluruh proses pemilu.

Penggunaan wewenang presiden yang berperan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam konteks pemilihan umum dapat dianggap sebagai pencampuran wewenang, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Tindakan mencampuradukkan wewenang bisa mencakup tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan di luar ruang lingkup bidang atau materi wewenang yang diberikan, dan/atau bertentangan dengan tujuan yang diamanahkan oleh wewenang tersebut.

Jika tindakan presiden tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hal tersebut dapat dianggap sebagai tindakan yang melampaui wewenang. 

Keputusan atau tindakan yang dianggap melampaui wewenang oleh presiden, serta tindakan yang dilakukan atau ditetapkan secara sewenang-wenang, akan dianggap tidak sah apabila telah melewati proses pengujian di pengadilan dan diperoleh putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.

Dalam konteks ini, "tidak sah" merujuk pada status keputusan atau tindakan yang diambil atau ditetapkan oleh lembaga atau pejabat pemerintahan yang tidak memiliki kewenangan, sehingga dianggap tidak pernah ada atau dikembalikan ke keadaan sebelum keputusan atau tindakan tersebut diambil. Semua konsekuensi hukum yang muncul dari keputusan atau tindakan tersebut dianggap tidak pernah ada.

Sedangkan tindakan yang mencampuradukkan wewenang dapat dibatalkan melalui proses pengujian oleh pejabat yang lebih tinggi atau melalui proses peradilan setelah melewati pengujian dan mendapatkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.

Dibatalkan dalam konteks ini merujuk pada pembatalan keputusan atau tindakan setelah melewati proses pengujian yang sah, baik oleh pejabat yang berwenang atau melalui keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI