Suara.com - Calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, baru-baru ini mengaku bahwa sejak muda tidak mempunyai apa-apa. Hal itu ia ungkapkan dalam pertemuan dengan para pedagang bakso dan mie ayam di Summarecon Bekasi, Jawa Barat.
Awalnya, Prabowo Subianto menyampaikan bahwa banyak individu yang memiliki kecerdasan dan kekayaan, namun memilih untuk terlibat dalam tindakan pencurian dan penipuan.
“Banyak orang pintar, orang kaya, kerjanya maling. Pintarnya nyolong. Pintarnya nipu. Banyak omon-omon,” ucapnya.
Selanjutnya, Prabowo menekankan bahwa sejak usia muda, dia telah bersumpah untuk memberikan dedikasi penuhnya bagi kemajuan bangsa Indonesia. Dia berkomitmen untuk terus membela dan melayani rakyat Indonesia.
Baca Juga: Ria Ricis All In Prabowo-Gibran, Ustadzah Oki Dukung AMIN?
"Sejak saya masih muda dan tidak memiliki banyak harta, saya telah bersumpah untuk memberikan segalanya demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Saya bertekad untuk terus memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan mereka," tambah Prabowo.
Lantas, benarkah sejak muda Prabowo Subianto tidak punya apa-apa? Untuk mencari tahu, penting menelusuri riwayat keluarga Prabowo Subianto.
Seperti diketahui, bahwa ia merupakan anak dari seorang ekonom terpandang pada masanya, yakni mendiang Soemitro Djojohadikusumo yang juga berlatar belakang sebagai seorang politikus.
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, seorang begawan ekonomi yang sangat berpengaruh dalam sejarah Indonesia, lahir dari keluarga ningrat Jawa. Pendidikan tingginya diraih di Sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam, Belanda, dan lulus pada tahun 1937.
Setelah Perang Dunia Kedua, Soemitro kembali ke Indonesia dan menjadi delegasi Indonesia di PBB di Amerika Serikat. Aktif dalam mengumpulkan dana untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, ia terlibat dalam Konferensi Meja Bundar sebelum bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia.
Baca Juga: Rachel Vennya Gabung Timses Prabowo-Gibran, Warganet Kecewa
Muncul sebagai Menteri Perdagangan dan Industri dalam Kabinet Natsir pada tahun 1950, Soemitro kemudian menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Wilopo dan Kabinet Burhanuddin Harahap. Selama masa jabatannya, Indonesia mulai menarik investasi asing dan menjalin kerja sama ekonomi dengan pihak luar.
Di samping kiprahnya di pemerintahan, Soemitro juga menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Namun, ia kemudian terlibat dalam pemberontakan PRRI di Sumatra pada tahun 1967, menyebabkan Soemitro tinggal di luar negeri untuk menjauhkan diri dari situasi politik yang tidak stabil.
Ketika Soeharto menjadi presiden pada 1967, Soemitro diundang kembali dan menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri dalam Kabinet Pembangunan I pada tahun 1968. Kebijakan perdagangan yang diterapkan, termasuk pengawasan ketat terhadap ekspor dan impor, menjadi sorotan.
Soemitro dikenal mendorong ekspor agar mendatangkan pemasukan untuk pemerintah. Meskipun ada kritik terhadap kebijakannya yang dianggap terlalu ambisius, Soemitro terus berperan aktif dan bahkan menjadi Menteri Riset dalam Kabinet Pembangunan II pada tahun 1973.
Setelah pensiun dari jabatan menteri, Soemitro tetap menjadi tokoh ekonomi dan kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Kekhawatirannya terhadap kebijakan ekonomi dan kritik kerasnya selama krisis moneter menggambarkan dedikasinya terhadap perbaikan kondisi ekonomi Indonesia. Soemitro tetap menjadi figur yang berpengaruh dan berani menyuarakan pendapatnya hingga akhir hayatnya.
Ketika Soeharto menjadi presiden pada 1967, Soemitro diundang kembali dan menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri dalam Kabinet Pembangunan I pada tahun 1968. Kebijakan perdagangan yang diterapkan, termasuk pengawasan ketat terhadap ekspor dan impor, menjadi sorotan.
Soemitro dikenal mendorong ekspor agar mendatangkan pemasukan untuk pemerintah. Meskipun ada kritik terhadap kebijakannya yang dianggap terlalu ambisius, Soemitro terus berperan aktif dan bahkan menjadi Menteri Riset dalam Kabinet Pembangunan II pada tahun 1973.
Setelah pensiun dari jabatan menteri, Soemitro tetap menjadi tokoh ekonomi dan kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Kekhawatirannya terhadap kebijakan ekonomi dan kritik kerasnya selama krisis moneter menggambarkan dedikasinya terhadap perbaikan kondisi ekonomi Indonesia. Soemitro tetap menjadi figur yang berpengaruh dan berani menyuarakan pendapatnya hingga akhir hayatnya.
Sementara itu, kakeknya, Margono Djojohadikoesoemo, yang dilahirkan pada 16 Mei 1894 di Banyumas, merupakan cucu buyut dari Raden Tumenggung Banyakwide, yang lebih dikenal dengan Panglima Banyakwide.
Panglima Banyakwide merupakan pengikut setia Pangeran Diponegoro, sementara Margono adalah anak dari asisten Wedana Banyumas. Pendidikannya dimulai di Europeesche Lagere School (ELS) Banyumas, sebuah Sekolah Dasar pada era kolonial Belanda di Banyumas, yang dijalaninya dari tahun 1900 hingga 1907. Ia juga merupakan pendiri dari Pusat Bank Indonesia, cikal bakal Bank Nasional Indonesia (BNI).