Suara.com - Baru-baru ini Presiden Jokowi menyinggung soal penduduk yang telah menyelesaikan pendidikan di tingkat S2 dan S3 saat ini masih sangat rendah.
Maka dari itu, ia berencana menambah alokasi anggaran pendidikan dengan tujuan memperkuat sektor riset dan meningkatkan rasio penduduk Indonesia yang telah menyelesaikan pendidikan tingkat S2 dan S3.
Hal ini pun ia ungkapkan ketika membuka Konvensi Kampus XXIX dan Temu Tahunan XXV Forum Rektor Indonesia di Universitas Negeri Surabaya, Jawa Timur pada Senin (15/1/2024).
Dalam kesempatan itu, Jokowi menyampaikan bahwa rasio penduduk yang telah menyelesaikan pendidikan S2 dan S3 di Indonesia hanya sekitar 0,4 persen. Sementara itu, negara tetangga telah mencapai angka 2,43 persen, dan negara maju bahkan mencapai 9,8 persen.
Baca Juga: Maruarar Sirait: Saya Yakin Presiden Jokowi Dukung Prabowo-Gibran
"Ini jauh sekali. Saya minggu ini rapat dan mengambil kebijakan untuk mengejar ketinggalan. Tidak tahu anggaran dari mana, tapi kita carikan agar S2, S3, usia produktif bisa naik drastis. Karena ini kejauhan sekali," ujar Jokowi.
Untuk keperluan riset, Jokowi berencana memberikan instruksi kepada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) agar berperan sebagai pengoordinasi riset bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam merancang kebutuhan riset guna mengatasi tantangan dan mengoptimalkan peluang yang ada.
Lebih pentingnya lagi, Presiden Jokowi menekankan bahwa kunci utamanya terletak pada perguruan tinggi, bukan hanya pada BRIN.
"Ini yang perlu bergeser, bahwa meskipun BRIN menjadi orkestrator, peran perguruan tinggi dalam penelitian dan pengembangan harus diperkuat," ungkapnya.
Tentu saja angka lulusan S2 dan S3 yang rendah ini memiliki penyebab, lantas apa sih menjadi penyebab rendahnya angka tersebut. Berikut ulasannnya.
Penyebab Lulusan S2 dan S3 di Indonesia Masih Rendah
Merujuk pada Data Indonesia, berikut adalah data jumlah penduduk RI berdasarkan tingkat pendidikannya:
1. Tidak/Belum Sekolah: 66.067.748 jiwa.
2. Belum Tamat SD: 30.532.881 jiwa.
3. Tamat SD: 64.299.891 jiwa.
4. SMP: 40.210.820 jiwa.
5. SMA/SMK: 58.570.662 jiwa.
6. D1 dan D2: 1.115.867 jiwa.
7. D3: 3.564.392 jiwa.
8. S1: 12.442.164 jiwa.
9. S2: 882.113 jiwa.
10. S3: 63.315 jiwa.
Dari paparan data di atas, bisa dilihat bahwa lulusan S2 dan S3 masih sangatlah rendah dibandingkan dengan tingkat pendidikan lain.
Rendahnya minat warga Indonesia untuk mengejar pendidikan pascasarjana bisa jadi dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Pertama, minimnya lapangan kerja yang membutuhkan gelar pascasarjana selain bidang riset. Selain itu, dunia kerja di Indonesia juga tidak memberikan remunerasi maupun reward yang berbeda antara lulusan S1 dan S3.
Terakhir, S2 dan S3 juga membutuhkan investasi waktu, tenaga, dan uang. Namun, ekosistem dunia kerja Indonesia dinilai tidak memberikan hasil yang setimpal supaya 'investasi' tersebut bisa 'balik modal'.
Kualitas Pendidikan di Indonesia dan Lowongan Kerja
Merujuk pada Lowy Institute, tantangan terbesar dalam bidang pendidikan di Indonesia bukan lagi soal meningkatnya akses, tetapi soal meningkatkan kualitas.
Seperti yang diketahui, tak sedikit guru dan dosen Indonesia kurang memahami ilmu pengetahuan yang diajarkan dan keterampilan untuk mengajar secara efektif.
Di sisi lain, hasil belajar siswa Indonesia buruk, pun adanya kesenjangan antara kemampuan yang dimiliki sarjana Indonesia dengan kebutuhan pemberi lowongan kerja.
Universitas Bina Nusantara (BINUS) menyatakan bahwa lulusan sarjana Indonesia juga kadang merasa malas untuk mencari kerja karena mereka baru lulus. Selain itu, ada beberapa dari mereka yang ingin menikmati waktu senggang sebelum masuk ke dunia kerja.
Hal ini juga pastinya dipengaruhi oleh beberapa faktor lain. Jika menilik penyebab sistem pendidikan di Indonesia belum optimal.
Faktor diantaranya adalah kualitas pengajar yang rendah, kualitas riset yang rendah, kualitas sumber daya manusia yang rendah, sistem pemerintah yang kurang baik, hingga keterbatasan dalam otonomi akademik dan manajemen.